Dilema Energi Perancis, Nuklir vs Terbarukan

Reuters | CNN Indonesia
Kamis, 26 Nov 2015 18:30 WIB
Kebijakan energi terbarukan Perancis terhalang oleh keyakinan energi nuklir merupakan salah satu opsi mengatasi perubahan iklim meski biayanya tinggi.
Perancis keheranan energi nuklir tidak masuk dalam agenda konferensi Perubahan Iklim 2015 di Paris. (Getty Images/Thomas Lohnes)
Paris, CNN Indonesia -- Awal tahun ini, badan energi dan lingkungan pemerintah Perancis berencana menerbitkan studi yang menyimpulkan bahwa negara itu secara realistis baru bisa menutup rekator nuklir dan benar-benar tergantung pada sumber energi terbarukan dalam beberapa dekade ke depan.

Tetapi publikasi studi ini dibatalkan akibat tekanan politik, dan Menteri Energi Perancis Segolene Royal kemudian mengatakan badan itu perlu “sejalan” dengan target pemerintah.

Insiden ini menggambarkan ketegangan yang mewarnai kebijakan energi di negara yang mulai mempergunakan sumber energi nuklir pada 1970-an, dan tigaperempat kebutuhan listriknya dipasok oleh pembangkit listrik energi nuklir. Perancis adalah pengguna sumber energi nuklir terbesar di dunia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi banyak pihak di Perancis usul meninggalkan nuklir tidak bisa diterima. Di negara yang menjadi tempat penemuan radioaktif, energi atom diterima luas oleh semua partai-partai politik besar kecuali partai Hijau. Dan industri nuklir mempekerjakan 220 ribu orang.

Menjelang konferensi perubahan iklim PBB di Paris, posisi Perancis ini mengkungkap ketidakkonsistenan kebijakan Eropa terkait cara terbaik meninggalkan bahan bakar fosil yang menjadi sumber polusi dan mulai mempergunakan energi yang lebih bersih, serta mengurangi emisi karbon.

Di Jerman, bencana reaktor nuklir Fukushima pada 2011 memicu kebijakan meninggalkan nuklir dan perubahan besar-besaran untuk beralih ke energi terbarukan. Dan banyak negara lain yang memutuskan untuk mulai mengurangi sumber energi nuklir secara bertahap.

Tetapi parlemen Perancis pada Juli hanya meloloskan kebijakan membatasi nuklir di tingkat yang sekarang berlaku, dan mengurangi sumber tenaga nuklir hingga 50 persen pada 2025. Tidak ada pengumuman terkait rincian konkrit untuk mencapai tujuan ini.

Parlemen juga mendukung target pemerintah agar sumber energi terbarukan mencapai tingkat 40 persen dari keseluruhan sumber energi pada 2030.

Studi yang dilakukan oleh badan lingkungan dan energi pemerintah Perancis, ADEME, ini menyimpulkan bahwa Perancis bisa 100 persen tergantung pada sumber energi terbarukan sebagai pembangkit listrik pada 2050 dengan biaya yang sama dengan jika menggantungkan 50 persen pasokan listrik pada energi atom.

“Kami membuktikan bahwa hipotesa yang oleh sebagian besar pemangku kepentingan dianggap tidak bisa dicapai, ternyata secara teknis mungkin dilakukan,” tulis kepala ADEME ,Bruno Lechevin.

Laporan ini akhirnya dipublikasikan pada Oktober, beberapa bulan setelah parlemen menyetujui undang-undanga transisi energi. Kata pembuka dari Lechevin pun bernada hati-hati dengan mengatakan: “ini adalah studi ilmiah awal, bukan satu skenario poliik’.

Nuklir VS Terbarukan

Ketergantungan Perancis pada energi nuklir yang bersar membuat negara ini menjadi satu model bagi generasi energi karbon rendah, tetapi situasi ini membuat Perancis sulit mempertimbangkan rencana beralih ke energi terbarukan.

“Kami terkejut melihat rancangan dokumen COP21 sama sekali tidak menyentuh energi nuklir sebagai solusi perubahan iklim,” kata Isabelle Jouette dari pelobi nuklir Perancis SFEN.

Bencana nuklir di reaktor Fukushima Jepang, memicu pemerintah Jerman memutuskan untuk mulai meninggalkan pembangkit listrik nuklir. (Getty Images/Sean Gallup)
Tetapi kubu pengkritik, seperti Greenpeace, mengatakan tenaga nuklir, yang menghasilkan listrik sebesar 11 persen, tidak bisa menjadi bagian dari solusi iklim yang diajukan dalam konferensi PBB ini karena risiko terkait kecelakaan reaktor dan penyimpanan limbahnya.

Mereka juga mengatakan membangun reaktor nuklir terlalu mahal dan lambat.

“Jika kita akan membelanjakan begitu banyak uang untuk mengatasi perubahan iklim, kita harus melakukannya dengan sangat efisien dari sisi ekonomi, yaitu terbarukan, bukan nuklir,” kata pegiat energi Greenpeace, Cyrille Cormier.

Biaya dan waktu memang menjadi masalah besar bagi industri nuklir Perancis dalam beberapa tahun terakhir.

Ketika energi matahari dan angin semakin murah dalam satu dekade belakangan, biaya energi nuklir terus naik karena persyaratan keselamatan yang semakin ketat.

Perusahaan EDF, Areva, merancang reaktor EPR di Flamnville, satu-satunya reaktor nuklir yang sedang dibangung di Perancis. Biayanya membengkak dari rencana awal sebesar 3 miliar euro, menjadi 10,5 miliar euro.

Areva, yang sebelumnya digadang-gadang sebagai ekspor terbesar Perancis di sektor nuklir, mengalamai kesulitan setelah modal kerjanya terkikis akibat kerugian selama bertahun-tahun. Dan divisi reaktornya telah diakuisisi oleh EDF.

Saham EDF sendiri turun 37 persen sejak Januari dan 83 persen dari nilai tertinggi pada 2007, karena investor khawatir dengan biaya tinggi yang dibutuhkan dalam memperbaiki reaktor tua miliknya di Perancis, membangun reaktor baru dan perubahan di unit reaktor Areva.

Berubah Arah

Itu sebabnya studi terbarukan 100 persen dari ADEME bisa dipandang sebagai ancaman terhadap masa depan perusahaan yang ketinggalan dari perusahaan Eropa lain di sektor energi matahari dan angin. 

Studi ini menunjukkan, jika Perancis beralih 100 persen ke energi terbarukan dalam menghasilkan listrik pada 2050, 63 persen tenaga angin, 17 persen tenaga matahari, 13 persen tenaga air dan tujuh persen energi terbarukan lain, harga rata-ratanya adalah 119 euro per MWh.

Ini hampir sama dengan harga rata-raga 117 euro per MWh pada skenario dengan 55 persen nuklir dan 40 persen energi terbarukan.

Industri pembangkit listrik tenaga listrik di Perancis mempekerjakan 220 ribu orang meski sebagian besar reaktornya sudah tua. (Getty Images/Pascal Le Segretain)
Bekas pemasok energi satu-satunya Perancis, EDF, yang merupakan operator reaktor nuklir terbesar di dunia, sangat tidak setuju dengan usul mengurangi energi nuklir di Perancis secara bertahap ini.

Manajemen perusahaan itu berulang kali mengatakan pengurangan jumlah energi nuklir dari pangsa sumber energi Perancis tidak akan terjadi karena penutupan reaktor, tetapi karena penambahan permintaan dari penggunaan energi untuk keperluan baru seperti kendaraan listrik.

Meski permintaan akan listrik tidak bertambah dan juga kebijakan pemerintah untuk mendorong efiesiensi energi tidak berubah dalam beberapa tahun terakhir, bos EDF Jean-Bernard Levy bulan lalu mengatakan kapasitas nuklir Perancis sebesar 63,2 gigawat adalah jumlah minimum, bukan maksimum.

Dia mengatakan akan ada penambahan 30 reaktor baru untuk mengganti reaktor EDP yang sudah tua.

Lechevin, mantan ketua serikat buruh moderat CFDT yang memulai karir di EDF, mengatakan tidak kaget dengan fakta bahwa EDF masih percaya dengan logika yang mengkaitkan pertumbuhan ekonomi dengan penggunaan energi yang lebih besar.

“EDF adalah kapal tanker besar, perlu waktu untuk berubah arah,” katanya, sambil mengatakan perusahaan itu mungkin perlu didorong untuk menjadi kekuatan penggerak dalam perubahan energi Perancis.

Lechevin mengatakan badan pimpinannya tidak mendukung atau menentang nuklir, tetapi memperingatkan bahwa kekuatan EDF di sektor energi nuklir tidak boleh menutup kemungkinan pertumbuhan energi terbarukan dan efisiensi energi.

“Kekuatan Perancis adalah nuklir yang bisa juga menjadi kelemahannya,” kata Lechevin. (yns)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER