Pegiat HAM Peringati Tiga Tahun Hilangnya Aktivis Laos

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Rabu, 16 Des 2015 08:10 WIB
Para pegiat hak asasi manusia (HAM) menggelar aksi solidaritas dan diskusi bagi aktivis HAM asal Laos, Sombath Somphone di Jakarta.
Para pegiat hak asasi manusia (HAM) menggelar aksi solidaritas bagi aktivis HAM asal Laos Sombath Somphone yang telah tiga tahun menghilang. (CNN Indonesia/Yohannie Linggasari)
Jakarta, CNN Indonesia -- Para pegiat hak asasi manusia (HAM) menggelar aksi solidaritas bagi aktivis HAM asal Laos, Sombath Somphone. Selasa (15/12) merupakan momen tepat tiga tahun Sombath menghilang.

Para pegiat HAM internasional tersebut merupakan pemenang penghargaan "Gwangju Prize for Human Rights" dari Korea Selatan. Mereka datang ke Jakarta untuk melakukan diskusi soal HAM serta melakukan aksi solidaritas bagi negara-negara di Asia.

Para pegiat HAM sekaligus pemenang Gwangju Award yang datang ke Jakarta antara lain: Sushil Raj Pyakurel (Nepal), Tayebeh Denbashi (Iran), serta Latifah Anum Siregar (Indonesia). Selain itu, hadir pula pegiat HAM lainnya dari Laos, Filipina, dan Sri Lanka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sombath Somphone masih hilang sampai saat ini. Aksi solidaritas ini akan terus berjalan dan kami akan terus mengampanyekan pentingnya perlindungan HAM," kata Sushil dalam bahasa Inggris saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (15/12).

Sushil mengatakan sebanyak 60 persen kasus penghilangan paksa terjadi di Asia. Oleh karena itu, ia dan aktivis lainnya berpendapat negara-negara Asia perlu segera meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan dari Segala Bentuk Penghilangan Paksa.

Para pegiat HAM ini juga mengunjungi Papua untuk melihat perkembangan perlindungan HAM di sana. Selain berdiskusi soal HAM, mereka juga mengunjungi para korban kekerasan.

"Indonesia adalah negara yang punya harapan karena Presiden Joko Widodo sudah berjanji akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Kami ingin mengingatkannya untuk mengambil aksi, salah satunya dengan mengizinkan jurnalis asing meliput di Papua secara bebas," katanya.

Di sisi lain, aktivis lembaga swadaya masyarakat Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) Latifah Anum Siregar yang juga merupakan penerima Gwangju Award 2015 mengatakan stigma pada diri orang Papua menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

"Ada stigma bahwa apapun yang dilakukan orang Papua, kalau ada pertemuan, merupakan aktivitas politik dan bentuk perlawanan. Padahal mungkin sekelompok orang itu mau ibadah. Namun, karena dicurigai, sampai dicek siapa pendetanya," katanya.

Saat ini para aktivis HAM di Laos menuntut agar komisi independen dibentuk untuk mencari fakta akan hilangnya Sombath. Dalam surat terbuka kepada Perdana Menteri Laos Thongsing Thammavong, sebanyak 49 direktur Amnesty International dari seluruh dunia mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mengusut kasus ini.

Salah satu warga Laos, Bounmy (bukan nama sebenarnya), menyatakan isu HAM di Laos saat ini masih dinilai sebagai topik yang sensitif untuk dibicarakan. Hal ini juga yang membuatnya enggan nama aslinya ditulis untuk berita ini.

Kendati demikian, Bounmy mengatakan perlindungan HAM di negaranya sudah lebih baik dibandingkan beberapa tahun lalu, terutama di bidang kesetaraan gender.

"Namun, sampai saat ini Laos masih menghadapi masalah perdagangan orang. Saya berharap dengan adanya generasi baru, situasi di Laos dapat lebih baik," katanya kepada CNN Indonesia.

Ia juga mengatakan saat ini perlidungan akan hak-hak buruh di Laos masih sangat memprihatinkan. "Terutama bagi buruh yang bekerja di provinsi yang berbatasan dengan negara lain seperti Thailand," katanya. (ama)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER