Jakarta, CNN Indonesia -- Pihak berwenang di wilayah Xinjiang, China mengurangi hukuman 11 orang tahanan yang dipenjara karena mengancam keamanan negara. Langkah ini dilakukan setelah China mengklaim keberhasilan program deradikalisasi, menurut laporan kantor berita
Xinhua.
Sejumlah kekerasan di Xinjiang dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan ratusan orang tewas. Pemerintah China menuding aksi kekerasan dilakukan oleh kelompok militan yang ingin mendirikan sebuah negara merdeka yang disebut Turkestan Timur untuk kaum minoritas Uighur yang beragama Islam dan berbicara bahasa Turki.
Xinhua melaporkan pada Selasa (2/2), tujuh narapidana yang dijatuhi hukuman seumur hidup diberikan keringanan hukuman menjadi penjara 19,5 atau 20 tahun, termasuk napi yang dihukum karena menyebarkan "kegiatan separatis" atau berpartisipasi dalam serangan teror.
Empat napi lainnya diberi keringanan hukuman sebanyak enam bulan dari hukuman awal. Hukuman bagi keempat napi itu sebelumnya berkisar antara 8 sampai 15 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Juru bicara untuk kelompok Uighur yang kini tinggal dipengasingan membantah laporan tersebut, dan menyebutnya "propaganda politik".
Xinhua mengutip Gubernur Xinjiang, Shohrat Zakir, yang menyatakan bahwa penjara di wilayah itu sangat sukses dalam beberapa tahun terakhir, khususnya dalam program de-radikalisasi. Zakir menyebutkan "mayoritas" dari narapidana kini menjadi warga yang taat hukum.
Zakir menambahkan bahwa diperlukan upaya yang berkelanjutan di bidang ini, dengan fokus bahwa mereka yang dihukum merugikan keamanan negara.
Xinhua menyebutkan langkah ini dilakukan dengan mengundang sejumlah tokoh agama dan ulama untuk berbicara dengan tahanan tentang "keyakinan agama yang benar."
Laporan di Xinhua memaparkan bahwa salah satu narapidana, Memet Tohti Memet Rozi, memiliki kontak dengan Gerakan Islam Turkistan Timur, kelompok yang dituduh melakukan serangkaian serangan di Xinjiang oleh Beijing. Rozi juga disebutkan memiliki kontak dengan Taliban di Afghanistan dan membantu melatih orang-orang dari Xinjiang menjadi militan.
"Saya tidak bisa menahan air mata ketika saya diberitahu soal keringanan hukuman itu," ujarnya seperti ditulis
Xinhua.
"Saya sekarang tak ada hubungan dengan semua separatis dan teroris, dan akan berusaha untuk menjadi warga negara yang taat hukum," katanya.
Para pejabat di Xinjiang tidak dapat dihubungi
Reuters untuk dimintai komentar, begitu juga dengan anggota keluarga narapidana untuk memverifikasi keringanan hukuman ini.
Warga yang tinggal di pengasingan dan berbagai kelompok pemerhati hak asasi manusia menilai penyebab utama sejumlah aksi kekerasan di Xinjiang bukan pergerakan militan, melainkan kebijakan China yang sangat keras, termasuk soal pembatasan budaya Uighur dan minimnya kesempatan ekonomi.
Dilxat Raxit, juru bicara kelompok Uighur di pengasingan, World Uyghur Congress, menilai berita soal keringanan hukuman dirancang sebagai "alat propaganda politik" untuk menutupi penindasan pemerintah terhadap warga Uighur.
"Sadarilah bahwa China menggunakan istilah keringanan hukuman untuk menyesatkan masyarakat internasional dan terus menggunakan dalih antiterorisme untuk meningkatkan represi," katanya.
(ama/stu)