Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah media milik pemerintah Iran menambahkan imbalan hingga US$600 ribu (Rp8 miliar) untuk membunuh penulis Inggris, Salman Rushdie yang dinilai menghina Islam dalam bukunya "The Satanic Verses."
Seruan untuk membunuh Rushdie pertama kali diserukan dalam fatwa yang dirilis oleh pemimpin revolusi Islam Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini. Fatwa ini menyerukan kepada umat Islam untuk membunuh Rushdie yang dinilai telah menodai Islam, memaksa penulis ini hidup dalam persembunyian.
Meski Khomeini wafat pada 1989, namun fatwa Khomeini tidak bisa ditarik kembali dan terus berlaku. Sebuah organisasi keagamaan di Iran bahkan menawarkan hadiah US$2,7 juta (Rp36 miliar) kepada siapa pun yang melaksanakan fatwa tersebut, dan menaikkan jumlah imbalan menjadi US$3,3 juta (Rp44 miliar) pada 2012.
Kantor berita Fars menerbitkan daftar 40 media lainnya yang bergabung dalam pengumpulan dana untuk menambahkan imbalan. Fars sendiri mengalokasikan dana sebesar US$30 ribu (Rp402 juta) dalam pengumpulan dana imbalan itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sejumlah media sepakat menetapkan [tambahan] imbalan sebesar US$600 ribu pada peringatan ke-27 dari fatwa bersejarah untuk menunjukkan [fatwa] itu masih berlaku," ujar Mansour Amiri, penyelenggara pameran teknologi digital yang menjadi tempat pengumpulan dana imbalan itu diumumkan bulan ini.
Amiri merupakan kepala Seraj Cyberspace Organisation, kelompok yang berafiliasi dengan milisi relawan Basij, yang bersekutu dengan angkatan bersenjata papan atas, Garda Revolusi yang didirikan untuk mempertahankan nilai-nilai revolusi Islam Iran.
Farsi melaporkan bahwa kepala milisi relawan Basij sempat mengunjungi pameran tersebut.
Hingga saat ini, agen dari Rushdie menolak berkomentar. Kementerian Luar Iran juga tidak bersedia berkomentar.
Pada 1998, pemerintah pro-reformasi Iran Presiden Mohammad Khatami menjauhkan diri dari fatwa tersebut. Khatami menyatakan ancaman terhadap Rushdie sudah berakhir setelah dia tinggal dalam persembunyian selama sembilan tahun.
Namun, kemurkaan akibat buku tersebut masih terus berlangsung, dibuktikan dengan penikaman seorang penerjemah bahasa Jepang dari "The Satanic Verses" dan sejumlah penyerangan terhadap orang-orang yang terlibat dalam penerbitan buku tersebut.
Pengganti Khomeini, Ayatollah Ali Khamenei, sempat mengatakan pada 2005 bahwa fatwa itu masih berlaku, yang segera disambut oleh tiga ulama garis keras dengan menyerukan pengikutnya untuk membunuh Rushdie.
Buku "The Satanic Verses" diterbitkan tahun 1988 dan merupakan novel keempat Rushdie. Sebagian isi novel tersebut terinspirasi dari kehidupan Nabi Muhammad SAW. 'Satanic verses' yang dimaksud dalam judul adalah sekelompok ayat-ayat suci Al-Qur'an yang merujuk doa-doa kepada tiga berhala di Mekkah, yakni Allat, Uzza, dan Manat.
Setelah fatwa itu dirilis, Rushdie hidup dalam proteksi polisi dari pemerintah Inggris. Sejak 2000, Rushdie tinggal di Amerika Serikat dan bekerja di Emory University dan American Academy of Arts and Letters.
Rushdie juga termasuk dalam daftar orang-orang yang ditargetkan oleh kelompok militan al-Qaidah yang dirilis oleh Anwar al-Awlaki pada 2010. Dalam daftar itu terdapat nama sejumlah tokoh, termasuk Stephane "Charb" Charbonnier yang tewas dalam serangan di kantor majalah satire Charlie Hebdo pada awal 2015 lalu.
Kesepakatan nuklir Iran dengan sejumlah negara besar dunia tahun lalu merupakan salah satu upaya Presiden Hassan Rouhani untuk mengakhiri isolasi Iran dengan Barat.
Namun, meskipun pemerintah Iran menunjukkan kesediaan untuk lebih terbuka kepada Barat, sekutu garis keras Khamenei takut bahwa membuka diri kepada Barat akan melemahkan pengaruh mereka dan legitimasi Revolusi Islam.
Kesepakatan nuklir itu mengintensifkan pertarungan politik di Iran menjelang dua pemilu penting pada Jumat. Badan pengawas Iran, Dewan Garda, telah mendiskualifikasi ribuan sekutu Rouhani dan melarang mereka memasuki perlombaan untuk parlemen dan Majelis Ahli, yang memiliki kekuasaan untuk menunjuk pemimpin tertinggi pengganti Khamenei.
(stu)