Arkarna, CNN Indonesia -- Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu mengumumkan pengunduran dirinya sebagai kepala pemerintahan sekaligus pimpinan partai Pembangunan dan Keadilan (AKP). Hal ini menjadi peluang bagi Presiden Recep Tayyip Erdogan untuk mewujudkan keinginannya membangun pemerintahan yang kuat.
Pengunduran diri itu disampaikan secara resmi Davutoglu pada Kamis (5/5) waktu setempat. AKP yang telah mendominasi politik Turki sejak 2002 akan mengadakan konvensi darurat 22 Mei untuk memilih pemimpin partai baru yang juga akan menduduki kursi kosong Perdana Menteri Turki.
"Saya tidak akan pernah berpikir akan menjadi pemimpin jika tidak ada konsensus. Dengan kondisi ini saya juga tidak akan mencalonkan diri pada kongres luar biasa yang akan datang," ujar Davutoglu dalam pidatonya seperti dikutip dari
Wahington Times, Kamis (5/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati mundur sebagai ketua AKP, namun Davutoglu tidak berencana untuk mengundurkan diri dari partai. Ia mengatakan akan melanjutkan perjuangan sebagai legislator partai berkuasa. Dia juga berjanji menjaga loyalitas kepada Erdogan.
"Saya merasa tidak ada celaan, kemarahan atau kebencian terhadap siapa pun," kata Davutoglu. "Tidak ada yang pernah mendengar kata itu dari saya terhadap presiden kita dan tidak akan pernah."
Keputusan mundur Davutoglu terjadi sehari setelah pemerintah Davutoglu berhasil memperjuangkan hak warga Turki untuk melakukan perjalanan ke Eropa tanpa visa.
Hubungan Erdogan dengan Davutoglu tampak renggang di tengah upaya Erdogan melakukan transisi pemerintahan dari sistem konstitusi menjadi sistem presidensial. Upaya Erdogan tersebut menimbulkan kesan ada upaya untuk menciptakan pemerintahan yang otoriter.
Setelah terpilih sebagai presiden pada tahun 2014, Erdogan memilih Davutoglu untuk menggantikannya sebagai perdana menteri dan pemimpin partai AKP.
Dalam pidatonya, Davutoglu menekankan bahwa ia tidak pernah bermaksud menjadi perdana menteri sementara. Dia ingat bahwa ketika ia mengambil alih partai, Erdogan mengatakan dalam pidato: "Ini adalah era presiden yang kuat dan seorang perdana menteri yang kuat."
Perpecahan antara Erdogan dan Davutoglu mulai terungkap ketika terjadi konflik yang melibatkan militan Kurdi di tenggara Turki.
Erdogan mengambil alih masalah dari Davutoglu setelah ia berbicara tentang kemungkinan dimulainya kembali perundingan perdamaian dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) jika militan bersenjata Kurdi menarik diri dari wilayah Turki.
Mundurnya Davutoglu tak hanya menciptakan ketidakpastian politik di Turki, tetapi juga di dalam NATO. Saat ini Eropa tengah membutuhkan bantuan untuk mengendalikan krisis migrasi. Sementara itu, Amerika Serikat juga tengah membangun sekutu guna melawan ISIS.
(ags)