Damaskus, CNN Indonesia -- Di kamar berukuran tiga kali empat meter itu, Muhammad Murdash tinggal bersama istri dan anak-anaknya selama lima tahun terakhir.
Ia berasal dari Daraya, wilayah pinggiran yang hanya berjarak sekitar 8 kilometer dari ibu kota Suriah, Damaskus.
Bersama ratusan keluarga lain, ia tinggal di sebuah bangunan bekas sekolah, yang kini sudah berubah menjadi salah satu pusat penampungan pengungsi di Judaidah Artus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Saat itu malam, ada kelompok bersenjata datang ke rumah, kami langsung berlari, bersama keluarga lain. Kami tidak kenal, mereka bukan dari daerah kami. Kami berlari ketakutan,” cerita Murdash.
Murdash mengaku tak membawa barang apa pun dari rumah mereka di satu malam bulan November 2012 itu. “Sampai sekarang tak tahu soal rumah kami, apakah masih ada atau sudah hancur. Selama empat tahun, belum pernah kembali ke Daraya,” ujar Murdash.
 Muhammad Murdash mengaku tak sempat membawa apa pun ketika lari meninggalkan rumah mereka di Daraya pada suatu malam di bulan November 2012. (CNN Indonesia/Ike Agestu) |
Kini selain dari bantuan, Murdash yang merupakan pensiunan pegawai pemerintah itu juga bekerja sebagai tukang listrik.
Kamar yang menjadi rumah Murdash, istri dan delapan anak mereka itu disesaki lemari kecil, televisi 14 inch, mesin jahit kecil, kasur-kasur, berbagai barang rumah tangga, serta gulungan kabel dan peralatan listrik miliknya.
“Kadang ada permintaan [memperbaiki listrik] dari luar,” ujarnya. Sementara istri Murdash, juga bekerja sebagai penjahit, terkadang menerima pesanan dari para pengungsi lain.
Judaidah Artus hanya berjarak 15 kilometer dari Damaskus, dan sekitar 3 kilometer dari Daraya. Kota di pinggiran itu menyimpan banyak cerita, seolah menjadi sisi lain Damaskus yang terlihat tenang di permukaan, namun siaga.
Tak seperti Damaskus yang dipenuhi pos pemeriksaan, kehadiran personel militer juga tak terlalu kentara terasa di Judaidah Artus.
 Ziyad Murobbiyah, pemimpin wilayah Judaidah Artus mengklaim tindak kriminalitas hampir tak ada, meski jumlah penduduknya membengkak dari 12 ribu menjadi 350 ribu dalam beberapa tahun terakhir. (CNN Indonesia/Ike Agestu) |
Menurut pemimpin wilayah yang setara dengan kecamatan itu, Ziyad Murobbiyah, Judaidah Artus awalnya hanya dihuni oleh 12 ribu penduduk. Namun sejak gelombang demi gelombang pengungsi datang setelah perang meletus pada 2011, populasi kota itu membengkak, menjadi 350 ribu orang.
Murobbiyah mengatakan bahwa selain di beberapa sekolah, kebanyakan pengungsi tinggal di rumah-rumah yang sebelumnya terbengkalai, namun kemudian direnovasi dan dijadikan tempat tinggal pengungsi.
“Jadi sekarang di tempat penampungan, ada hingga 3-4 keluarga di satu rumah besar yang terdiri dari tiga kamar, seluas sekitar 150 meter persegi,” ujar Murobbiyah.
Bantuan menurutnya datang dari dua sumber utama: bulan sabit merah Suriah yang memberi kebanyakan bantuan bahan makanan dan logistik, dan kedua dari organisasi kemanusiaan lain yang berupa pakaian, selimut, popok anak, atau keperluan tidur.
Ditanya soal tingkat kriminalitas setelah kota itu dipadati pengungsi, Murobbiyah mengatakan bahwa “hampir tidak kriminalitas, tetap di bawah kendali.”
Murobbiyah mengaku awalnya, ada kelompok-kelompok bersenjata yang menyusup di antara pengungsi. Namun warga menolak kehadiran mereka. Dan itu terjadi saat konflik baru meletus, sehingga belum terdeteksi dari kelompok mana saja mereka.
Konflik Suriah terbagi dalam banyak faksi. Ada pemerintah di bawah rezim Bashar al-Assad, kelompok oposisi yang kerap disebut sebagai pemberontak moderat, hingga kelompok teroris seperti ISIS dan Jabhat al-Nusra yang berafiliasi dengan al-Qaidah.
Di Daraya, menurut Murobbiyah, pada akhirnya mayoritas dikuasai oleh kelompok pemberontak Free Syrian Army—pemberontak moderat yang didukung oleh Amerika Serikat dan negara lain, serta beberapa dari Jabhat al-Nusra. Beberapa bulan lalu, Daraya sempat disoroti terkait pengepungan pasukan Assad yang mengakibatkan penduduknya menderita kelaparan.
[Gambas:Video CNN]Selain dari Daraya, pengungsi berdatangan bahkan hingga saat ini ke Judaidah Artus, berasal dari segala penjuru Suriah, seperti Raqqa, Homs, Deir Ezzor, dan Aleppo.
Masih di kota yang sama, tak seberapa jauh dari sekolah yang dijadikan tempat pengungsian, gedung tiga lantai Yayasan Al Bir Ihsan Al Khoirah kini dijadikan tempat pelatihan bagi puluhan pengungsi.
“Ada 50 keluarga, sekitar 200 jiwa di sini,” ujar Tarek Dahleh, direktur yayasan yang telah berdiri sejak 1977 itu. “Proyek pelatihan ini dimulai tahun lalu, dengan bantuan UNDP. Tapi sekarang UNDP sudah tidak memberi bantuan lagi.”
Semua pengungsi yang diberdayakan di yayasan merupakan perempuan, berusia 18 tahun ke atas. Tempat bekerja ada di lantai tiga, dua lantai di bawahnya dijadikan tempat tinggal. Mereka memproduksi pakaian jadi, dan hasilnya dijual di pasar lokal, atau diberikan ke pihak lain yang membutuhkan.
Merujuk pada keterangan dari Murobbiyah, perbandingan jumlah pengungsi perempuan dan pria adalah 4:1.
Dahleh sendiri tak mengungkap ke mana suami atau keluarga laki-laki mereka. Kemungkinan, bergabung dengan pihak pemberontak, yang melawan pemerintahan Assad. Hal itu seolah mengonfirmasi keengganan para perempuan di yayasan itu untuk berbicara dengan media, mereka takut.
Di luar gedung, beberapa anak-anak pengungsi berusia sekitar tiga sampai enam tahun bermain, berfoto dengan kami, orang-orang asing yang mengunjungi mereka; belum sepenuhnya mengetahui, mengapa mereka tercerabut dari kampung halaman.
(stu)