LAPORAN DARI SURIAH

Menderita Akibat Perang, Damaskus Tuding Asing Biang Keladi

Ike Agestu | CNN Indonesia
Rabu, 25 Mei 2016 10:31 WIB
Menderita akibat perang berkepanjangan, warga Damaskus mencoba hidup senormal mungkin. Di sisi lain, asing mereka tuding sebagai biang keladi kekacauan.
Damaskus sekilas tampak normal, jika tak ada kehadiran militer dan pos-pos pemeriksaan yang menyebar di tiap sudut kota. (CNN Indonesia/Ike Agestu)
Damaskus, CNN Indonesia -- Sekilas, Damaskus tak tampak berbeda dari kota-kota lain di dunia. Mobil-mobil berbagai merek melaju di jalanan, orang-orang bepergian, berjalan kaki, bercengkerama, berlalu-lalang.

Tak pula tampak tatapan aneh kepada warga asing seperti saya ketika menjajaki beberapa lokasi di Damaskus. Mereka sepertinya terbiasa dengan wajah-wajah tak familiar, bahkan terkesan ramah.

Memasuki tahun kelima perang, PBB menyebut bahwa setidaknya 260 ribu orang telah tewas di Suriah. Jumlah itu pun, tak pasti adanya. Beberapa lembaga, seperti Syrian Centre for Policy Research, awal tahun lalu bahkan menyebut jumlah korban tewas di Suriah mencapai 470 ribu orang. Ini artinya, sebanyak 11,5 persen dari seluruh populasi Suriah terbunuh sejak pecah konflik pada Maret 2011.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun di Damaskus, selain banyaknya kehadiran personel militer dan pos-pos pemeriksaan yang ada di hampir tiap sudut kota, menciptakan kemacetan bahkan mengular panjang di beberapa ruas jalan, semuanya hampir tampak normal. Mungkin tak jauh berbeda dari kota lain, dengan nuansa warna pasir khas kota-kota gurun di Timur Tengah.

Warga Damaskus mencoba menjalani hidup senormal mungkin. (CNN Indonesia/Ike Agestu)
Gencatan senjata yang disepakati oleh Rusia dan Amerika Serikat sejak akhir Februari lalu, menurut warga setempat, juga berpengaruh positif bagi hidup mereka secara umum. Lebih banyak orang berani ke luar rumah bahkan pada malam hari, pasar-pasar lebih ramai, toko-toko lebih banyak yang buka. Ini memberi mereka harapan lagi, akan sebuah hidup yang normal.

"Saya mencoba, semua warga Suriah hidup di bawah situasi yang berat namun bertahan. Kami punya kemauan untuk hidup, hampir semuanya begitu," ujar Hazar al-Salem, perempuan berusia 33 tahun yang berprofesi sebagai pelukis di Damaskus, ketika dihampiri akhir April lalu.

Ia kehilangan ayah di kampung halaman mereka di Homs, empat tahun lalu, ketika konflik baru saja menyeruak. Sang ayah, menurut Salem, merupakan salah satu petinggi di Angkatan Darat Suriah. Bersama keluarganya, ia lalu melarikan diri ke ibu kota Damaskus, meninggalkan rumah, dan kehidupan lama mereka.

"Saya tahu banyak keluarga dan perempuan yang kehilangan anak, suami, keluarga, banyak orang Suriah menjadi tunawisma. Tapi mereka mencoba bertahan hingga detik ini," kata Salem, tersenyum.

Hal-hal itu, tentu saja tak normal. Banyak sekali warga yang kehilangan anggota keluarga mereka sejak perang berkecamuk. Seperti Salem, Hassan, 50, seorang guru sejarah di sebuah sekolah menengah atas di Damaskus, juga kehilangan kerabatnya.

Hazar al-Salem, pergi meninggalkan kampung halamannya di Homs dan kini tinggal di Damaskus bersama keluarganya. (CNN Indonesia/Ike Agestu)
"Kami menderita. Perang mulai lima tahun lalu, kami sangat menderita, kami menghadapi kematian setiap hari. Saya kehilangan keluarga, suami dari adik saya. Dia juga teman baik saya," ucap Hassan. Adik iparnya yang juga merupakan tentara Suriah tersebut, kata Hassan, syahid, karena tewas dalam bertempur.

Ia mengatakan bahwa krisis ini berat bagi warga Suriah, berdampak pada semua sektor, termasuk ekonomi, keamanan, dan kehidupan sehari-hari mereka.

Hassan menolak anggapan yang mengatakan bahwa perang Suriah adalah perang sektarian, karena menurutnya, warga Suriah adalah warga yang majemuk. Alih-alih, ia menyalahkan konspirasi negara asing yang ingin menghancurkan Suriah.

"Saya setengah Sunni, setengah Alawite," ucap Hassan. "Kami adalah [masyarakat] multi kultur, namun Saudi mencoba menghancurkan hal baik dari komunitas Suriah itu."

Sementara itu Presiden Suriah Bashar al-Assad, menurut Hassan, justru memerangi terorisme, "demi negara dan rakyatnya."

"Ada Qatar, Saudi. Ada Iran. Dan Saudi berdiri bersama sekutunya, seperti AS. Tapi Iran dan Suriah berjuang bagi keamanan rakyat mereka," kata Hassan. "Konflik ini politis, bukan agama. Kami butuh Assad untuk terus berjuang. AS adalah pembohong besar. Gaddafi pergi, tapi mana kedamaian, kebebasan, demokrasi, di Libya? Ada ISIS di sana, membunuhi orang-orang."

Muhammad Hallak, 23, seorang mahasiswa ilmu politik yang belajar di Universitas Damaskus, juga menyalahkan pihak asing sebagai dalang kekacauan di negaranya.

Kehadiran personel militer sangat terasa di Damaskus, gedung pemerintahan dijaga ketat, pos pemeriksaan ada di tiap sudut kota. (CNN Indonesia/Ike Agestu)
"Pada dasarnya apa yang menimpa Suriah adalah perang yang bertujuan untuk menghancurkan Suriah dengan mengadu domba antar kelompok, agama. Kondisi ini bertentangan dengan masyarakat Suriah yang majemuk, sehingga isu perpecahan itu hanya bohong, dan sengaja dilontarkan oleh pemerintah Barat dan medianya untuk mengancurkan Suriah," ucap Hallak ketika ditemui di Pasar Latakiye, Damaskus. Hallak, juga mengaku kehilangan teman dan keluarga sejak perang meletus.

Sebaliknya Assad, ucapnya, tidak seperti yang digambarkan oleh media-media Barat. "Assad sangat terbuka pemikirannya, dia belajar di Inggris. Dia tidak seperti yang digambarkan."

Tudingan yang bersifat konspiratif ke luar ini, dikonfirmasi tak hanya oleh warga biasa Suriah, namun hingga ke pejabat tinggi Suriah, yang menyalahkan peran asing dalam mendukung kelompok-kelompok terorisme.

"Suriah saat ini diserang teroris yang dilancarkan Daesh, Nusra, Jaiz Islam. Daesh bukan al-Qaidah, tapi dari al-Qaidah, sedang Nusra sempalan dari al-Qaidah. Kelompok ini didukung langsung oleh Saudi dan juga Turki. Dan Qatar. Dan persenjataan didukung oleh Amerika. Para mujahidin, datang dari negara lain masuk ke Suriah lewat Turki. Untuk pasokan senjata masuk dari berbagai pintu," jelas Omran al-Zoubi, menteri penerangan Suriah ketika ditemui rombongan wartawan Indonesia di Damaskus akhir April lalu. Daesh adalah sebutan buat ISIS dalam bahasa Arab.

Al-Zoubi mengaku bahwa negaranya mendapat banyak tekanan politik dan ekonomi akibat embargo yang dilancarkan Eropa, Amerika, dan sebagian besar negara Arab. Namun ia mengklaim bahwa tentara Suriah maju dan merebut kembali beberapa daerah.

Warga Damaskus mencoba menjalani hidup normal, di tengah konflik yang mendera negara mereka. (CNN Indonesia/Ike Agestu)
Suriah, nyatanya memang memperoleh banyak kemajuan dengan merebut kembali wilayah dari kelompok pemberontak dan ISIS sejak Rusia secara resmi meluncurkan serangan udara di Suriah sejak akhir September 2015.

"Sejak abad 20-an sudah terjalin hubungan antara Partai Baath [partai Assad] dengan partai yg ada di Rusia, kami mempunyai hubungan sangat baik di bidang politik dan militer, untuk mempersenjatai militer Suriah, dan harmonis dalam semua bidang. Oleh sebab itu sudah wajar pada posisi saat ini pemerintah Suriah berbalik ke pemerintah rusia, dan dari sejak konflik bergejolak, Rusia tidak pernah meninggalkan Suriah. Dan keberadaan Rusia saat ini adalah sesuai persetujuan dari pemerintah Suriah," kata al-Zoubi.

Rusia memang punya kepentingan strategis di Suriah. Di antaranya memiliki investasi senilai US$20 miliar di bidang eksplorasi gas. Suriah juga termasuk wilayah strategis yang menjadi lokasi transit gas Rusia ke Eropa melalui pelabuhan Tartous.

Ditanya apa yang akan terjadi bila Rusia menarik semua pasukannya, al-Zoubi tak bisa menjawab. "Ini dasarnya soal yang mengandai-andai, tidak akan pas jawabannya karena pada dasarnya Presiden [Vladimir] Putin mengatakan ia tidak akan mundur dari peperangan Suriah dan tidak akan meninggalkan Suriah sendirian," ujar dia.

Di lain pihak, menurutnya, tak ada di antara negara-negara lain yang ingin mengakhiri perang di Suriah.

"Dan sementara ini dunia internasional ditakutkan oleh perkembangan ISIS. Terutama setelah insiden Paris dan Brussels dan beberapa kota di Eropa. Oleh sebab itu politik Eropa dan Amerika sementara ini untuk menekan dan membatasi perkembangan teroris yang ada tapi bukan menjaga pertumpahan darah di Suriah karena sebenarnya mereka lah pelakunya," kata al-Zoubi. (yns)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER