Jakarta, CNN Indonesia -- Warga imigran atau ekspatriat akan menjadi kubu yang paling menderita jika Inggris keluar dari Uni Eropa. Berbagai kebijakan soal imigran di Inggris akan mengalami perubahan drastis.
Menurut
CNN awal pekan ini, masalah imigrasi menjadi isu utama referendum keluarnya Inggris dari Uni Eropa, mengalahkan permasalahan ekonomi. Menurut survei Ipsos Mori, lebih dari 50 persen pendukung Brexit mengutip isu imigrasi sebagai salah satu alasan utama dukungan mereka.
Jumlah imigrasi di Inggris tahun 2015 mencapai 333 ribu orang, selalu naik 100 ribu setiap tahunnya sejak 1998. Akibat gelombang imigrasi yang masif ini, komunitas Inggris berubah, sistem perumahan dan layanan publik juga diperluas. Menurut kelompok sayap kanan Inggris, para imigran membuat warga asli kesulitan mendapatkan kerja dan kebudayaan asli berubah.
Inggris memang bisa membatasi jumlah imigran dari luar Uni Eropa, tapi tidak bisa membendung "tsunami" pendatang dari 27 negara anggota UE. Pasalnya, kebebasan pergerakan warga adalah salah satu pilar utama bagi UE.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Usai referendum yang memenangkan "keluar" dari UE, para ekspatriat Eropa di Inggris terancam dideportasi. Menurut laporan
CNN, warga Eropa di Inggris mengaku resah.
Namun mereka masih bisa bernafas lega dalam dua tahun ke depan, selama proses keluarnya Inggris berjalan.
Para tokoh utama pendukung Brexit mengajukan kebijakan imigrasi model Australia, yaitu hanya memperbolehkan orang-orang dengan kemampuan khusus yang dibutuhkan Inggris untuk masuk dan tinggal di negara itu.
Kekhawatiran lebih besar dialami oleh para pendatang dari negara non-UE. Inggris sejauh ini telah memperketat jumlah pendatang dari negara Eropa, usai referendum peraturan diperkirakan akan lebih mencekik lagi.
 Menurut kelompok sayap kanan Inggris, arus imigran membuat komunitas Inggris berubah, dan warga asli kesulitan mendapat pekerjaan. (Reuters/Pascal Rossignol) |
Beberapa negara dari luar UE, terutama dari negara-negara persemakmuran seperti Australia dan Kanada mengatakan peraturan imigrasi Inggris telah mendiskriminasi mereka. Sementara para pemilik restoran kari dari Bangladesh, contohnya, mengaku sulit mendatangkan koki dari Asia karena peraturan imigrasi yang ketat.
Usai referendum, warga pendatang dari Uni Eropa akan sulit mencari pekerjaan karena tidak ada lagi keistimewaan bagi mereka. Sebelumnya, iklan pekerjaan hanya ditujukan bagi pencari kerja asal UE, praktik yang telah berlangsung sejak pergerakan bebas diperkenalkan tahun 2004. Sebaliknya bagi para pencari kerja, mereka beralih ke karyawan imigran non-UE yang upahnya lebih murah ketimbang pekerja Eropa.
Kesulitan juga akan dialami oleh 4,5 juta warga Inggris yang tinggal di luar negeri, 1,5 juta di antaranya tinggal di negara-negara Uni Eropa, berdasarkan data PBB.
Ada kekhawatiran, dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa, warga Inggris di UE menjadi pendatang ilegal dalam semalam. Namun menurut Richard Whitman, peneliti senior di lembaga think-tank Chatham House, London, dalam situasi ini ekspatriat Inggris dilindungi oleh Konvensi Wina 1969 soal perlindungan warga asing.
"Pemerintah [Eropa] tidak akan melakukan tindakan dramatis mengusir warga Inggris dari negara mereka, kecuali tentu saja, Inggris yang lebih dulu mengusir warga UE," kata Whitman.
(stu)