Gulen Desak AS Tak Kabulkan Permintaan Ekstradisi Turki

Amanda Puspita Sari/Reuters | CNN Indonesia
Rabu, 20 Jul 2016 17:12 WIB
Fethullah Gulen, yang kini tinggal dalam pengasingan di AS, menilai ekstradisi itu hanya menjadi alat balas dendam Presiden Recep Erdogan kepadanya.
Fethullah Gulen, yang kini tinggal dalam pengasingan di AS, menilai ekstradisi itu hanya menjadi alat balas dendam Presiden Recep Erdogan kepadanya. (Reuters/Greg Savoy/Reuters TV)
Jakarta, CNN Indonesia -- Fethullah Gulen, ulama Turki yang dituding mendalangi kudeta di Turki akhir pekan lalu mendesak agar pemerintahan Amerika Serikat tidak mengabulkan permintaan ekstradisi yang diajukan oleh Turki.

Gulen, yang kini tinggal dalam pengasingan di Pennsylvania, AS, menilai ekstradisi itu hanya akan menjadi alat balas dendam Presiden Recep Tayyip Erdogan kepadanya.

"Saya mendesak pemerintah AS untuk menolak setiap upaya untuk menyalahgunakan proses ekstradisi demi melaksanakan dendam politik," kata Gulen, Selasa (19/7), dalam pernyataan yang dirilis oleh kelompok pendukungnya, Aliansi untuk Nilai-Nilai Bersama, dikutip dari Reuters.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gulen, mantan teman yang kini menjadi musuh Erdogan, telah membantah terlibat dalam kudeta yang menewaskan 232 orang pada Jumat (15/7) pekan lalu dan mengutuknya.

Di hadapan parlemen Turki dan melalui akun Twitter resmi miliknya, Perdana Menteri Binali Yildirim mengumumkan bahwa pemerintah Turki telah secara resmi meminta Amerika Serikat segera mengekstradisi Gulen, yang saat ini tinggal dalam pengasingan di Pennsylvania, AS. Yildirim menyebut Gulen "pemimpin teroris."

Yildirim sebelumnya menuduh Washington memiliki kebijakan standar ganda dalam perang melawan terorisme. Pasalnya, pemerintah AS menyatakan hanya akan mempertimbangkan ektstradisi jika ada bukti keterlibatan Gulen dalam kudeta itu.

AS dan Turki memiliki perjanjian ekstradisi yang diberlakukan sejak tahun 1981. Perjanjian ini mencakup ekstradisi bagi pelaku kejahatan yang pelakunya bisa dipenjara, namun tidak memuat soal "kejahatan politik," meski perjanjian itu juga mencakup "pelanggaran atau percobaan pelanggaran apapun melawan kepala negara."

Sejumlah pakar menilai proses hukum ekstradisi ini dapat memakan waktu bertahun-tahun. Selain itu, penyelidikan soal apakah Gulen melakukan kejahatan politik diduga akan memicu perdebatan panjang dalam proses ekstradisi.

Ronald Hedges, mantan hakim hakim AS yang kerap memimpin sidang ekstradisi, menyatakan bahwa untuk menyatakan bahwa dugaan kejahatan yang dilakukan Gulen merupakan kejahatan politik, "Ia harus menyatakan bahwasanya 'Saya tidak dituduh karena melakukan tindak kejahatan, melainkan karena saya musuh pemerintah'."

Klausul tentang tidak termasuknya "kejahatan politik" tersebar luas di perjanjian ekstradisi. Hal ini untuk melindungi mereka yang "berjuang secara adil melawan penindasan pemerintah mereka demi mengamankan perubahan politik," tulis Hakim AS Karen Williams dalam putusannya tentang ekstradisi ke Peru pada 2007.

Menurut para ahli hukum yang dikutip Reuters, pengacara di Kementerian Luar Negeri dan Kehakiman akan meninjau permintaan ekstradisi Turki untuk menentukan apakah Gulen layak dipulang paksa.

Jika iya, maka permintaan itu akan dilayangkan ke hakim di AS untuk menentukan apakah kejahatannya tersebut membuat dia diekstradisi. Keputusan hakim ini tidak bisa diganggu gugat, tapi seseorang bisa mengajukan petisi menentang ekstradisi tersebut, dengan mengatakan penahanan atas dirinya tidak sesuai hukum.

Walau petisi jarang dikabulkan, namun upaya banding atas langkah ini di Mahkamah Agung AS bisa berlangsung bertahun-tahun.

Upaya ekstradisi Gulen dilakukan ditengah upaya Turki membersihkan pemerintahan dan militer dari orang-orang yang terlibat kudeta. Sebanyak 50 ribu orang di Turki ditargetkan dalam upaya 'pembersihan' pendukung kudeta, mulai dari tentara, polisi, jajaran peradilan, universitas dan sekolah, badan intelijen serta otoritas keagamaan. (ama/stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER