Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Malaysia mengusulkan amandemen undang-undang untuk meningkatkan batas usia minimal menikah bagi perempuan Muslim menjadi 18 tahun sebagai upaya mengurangi tingkat kehamilan pada remaja dan perlindungan sosial bagi anak di bawah umur.
"Hukum perkawinan saat ini memperbolehkan perempuan minimal berusia 16 tahun dan laki-laki berusia 18 tahun untuk menikah. Kami kurang senang dengan ini sehingga ingin meningkatkan usia minimum bagi perempuanmenjadi 18 tahun," ucap Menteri Perempuan, Keluarga, dan Pengembangan Masyarakat Malaysia, Rohani Abdul Karim, seperti dikutip
Channel NewsAsia, pada pekan ini.
Rohani mengatakan bahwa pihaknya telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti seluruh pejabat negara dalam hubungan keagamaan sebelum mengusulkan amandemen perubahan Undang-Undang Perkawinan dan Perceraian ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam diskusi tersebut, pemerintah membahas, perempuan Muslim Malaysia yang berusia di bawah 16 tahun memang wajib memiliki izin dari pengadilan agama untuk bisa menikah. Namun, para aktivis hak anak menyebutkan, pengajuan izin seperti itu terlalu mudah diberikan.
Banyak pihak seperti oknum pemerkosa yang menyalahgunakan peraturan ini untuk bisa menikahi korban mereka yang berusia di bawah umur agar terhindar dari hukuman penjara.
Rohani memaparkan, pemerintah akan terus melakukan upaya sosialisasi dalam menumbuhkan kesadaran pada masyarakat mengenai alasan pemerintah meningkatkan usia minimum dalam pernikahan.
Menurut Rohani, ke depannya pemerintah juga akan membentuk dan menyempurnakan hukum terkait kasus pemerkosaan. Pemerintah Malaysia juga sedang menggodok pertimbangan hukum mengenai bisa tidaknya seorang pemerkosa menikahi korbannya jika korbannya itu masih berusia di bawah umur.
"Hal itu juga sedang dalam pembahasan pemerintah. Kami melihat itu sejauh mendefinisikan apa itu pemerkosaan, segala bentuk tindakan pemerkosaan. Kami bertujuan untuk memperkuat hukum ini," kata Rohani.
Sementara itu, berbagai aktivis HAM menyebutkan selain memperkuat perlindungan hukum bagi perempuan dan anak-anak, implementasi hukum dan perubahan pola pikir juga penting dilakukan. Tanpa implementasi hukum yang tegas dan dukungan pola pikir dari para orang tua, pemerintah akan sulit mengakhiri praktik pernikahan anak.
"Hukum itu hanya satu aspek, sementara implementasi adalah aspek lainnya untuk melengkapi hukum. Sudah saatnya Malaysia mengakhiri pernikahan pada anak," ujar Komisioner Komisi Nasional HAM Malaysia (Suhakam), Mah Weng Kwai.
Menanggapi pembahasan ini, pendiri perusahaan Sosial Impact Hub, Shariha Khalid, mengatakan bahwa kunci utama untuk mengakhiri pernikahan pada anak adalah meningkatkan kesadaran publik.
"Semua bergantung pada masyarakat. Peningkatan usia minimum pernikahan tanpa kesadaran publik tak akan banyak mempengaruhi (angka pernikahan pada anak)," kata Shariha.
Pada tahun 2015, terdapat sekitar 13.800 kasus kehamilan pada anak di Malaysia. Wilayah Sabah dan Sarawak menjadi daerah dengan jumlah kehamilan pada anak tertinggi. Sebelumya, terdapat 16.528 kasus kehamilan pada anak pada tahun 2014 dan 17.588 kasus pada tahun 2013.
(has/ama)