New York, CNN Indonesia -- Donald Trump memenangkan pemilihan umum presiden Amerika Serikat dan mengalahkan HIllary Clinton pada Selasa (8/11). Padahal mayoritas jajak pendapat sebelumnya mengatakan sebaliknya, Trump kalah dan Clinton menang.
Menurut pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Effendi Ghazali, ada beberapa kemungkinan mengapa hasil jajak pendapat tidak sesuai dengan apa yang akan terjadi kemudian, di antaranya adalah para responden yang telah berbohong.
"Hasil pemilu lari dari angka yang diperkirakan kemungkinan besar karena dua hal. Pertama responden tidak jujur terhadap lembaga survei. Kedua, mereka memutuskan di saat-saat terakhir jelang pemilu. Survei sendiri masih ada hingga 7 November," kata Gazali yang ditemui CNN Indonesia di Times Square, New York, di malam pemilu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam berbagai jajak pendapat jelang pemilu, Clinton menang walau terpaut ketat dengan Donald Trump. Sebut saja CBS News yang dalam survei terakhirnya menyebutkan Clinton unggul empat poin dari Trump, atau Bloomberg menyebut unggul tiga poin, dan bahkan Fox News, media yang condong ke Partai Republik menyatakan keunggulan Clinton mencapai empat poin.
Namun ada beberapa survei yang sangat akurat dalam memprediksi hasil pemilu. Effendi menyebutkan jajak pendapat oleh lembaga survei IDP/TIPP sehari sebelum pemilu yang menyatakan Trump unggul dua poin dari Clinton.
"Saya percaya pada IDP/TIPP karena mereka sudah tiga kali pilpres dianggap paling akurat. Survei mereka dilakukan 11 kali, secara serial menunjukkan Trump unggul dua poin. IDP/TIPP sudah luar biasa, tidak seperti survei yang lain," kata Effendi.
Effendi mengatakan bahwa ada tiga jenis lembaga survei yang ada di Amerika Serikat. Pertama adalah lembaga yang transparan mengaku bekerja untuk capres tertentu, kedua yang bekerja sendiri dan menjual hasil surveinya, dan ketiga adalah murni untuk kepentingan publik.
Untuk jenis pertama, kata dia, seharusnya ditiru oleh lembaga survei di Indonesia. Beberapa lembaga survei di Indonesia tidak mengaku bekerja untuk calon tertentu, padahal kata Effendy, pengakuan ini justru menguntungkan mereka.
"Harus transparan, jika menang berarti anda [lembaga survei] semakin hebat. Jika mengaku bekerja untuk Trump, maka akan jelas posisinya dari awal dan publik tidak dibuat bingung," tutur Effendi.
(den)