Jakarta, CNN Indonesia -- Penasihat Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi, belum juga melontarkan pernyataan dan langkah resmi menanggapi memburuknya situasi di negara bagian Rakhine, menyusul serangkaian kekerasan yang menimpa etnis minoritas Muslim Rohingya yang diduga dilakukan oleh militer Myanmar sejak awal Oktober lalu.
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Pelita Harapan, Aleksius Jemadu, menyatakan bungkamnya Suu Kyi dinilai sebagai kurangnya inisiatif tokoh demokrasi itu untuk benar-benar menangani masalah Rohingya di Myanmar. Keengganan Suu Kyi tersebut, lanjut Aleksius, muncul karena Suu Kyi takut kehilangan popularitas.
Pasalnya, Aleksius berujar, pandangan warga Myanmar secara keseluruhan terhadap etnis Muslim Rohingya tidak begitu positif. Hal ini jelas menghambat keinginan politik pemerintah Myanmar, khususnya Suu Kyi untuk mau benar-benar membela Rohingya yang disebut PBB sebagai etnis paling tertindas di dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika pandangan sebagian besar warga Myanmar saja sudah tidak baik terhadap etnis Rohingya, lalu pemerintah memberi kesan membela etnis tersebut secara terang-terangan, pasti ada ketakutan popularitas politiknya (Suu Kyi) akan memudar di kalangan publiknya sendiri," ungkap Aleksius saat dihubungi CNNIndonesia, Selasa (22/11).
Aleksius menyatakan, sebagian besar warga Myanmar memang memiliki pandangan tertutup terhadap etnis Rohingya. Mereka menganggap etnis Rohingya sebagai imigran ilegal yang tidak punya kewarganegaraan.
Pandangan ini, ungkap Aleksius, jelas menimbulkan keengganan Suu Kyi untuk mengambil langkah tegas menghukum para pelaku kekerasan, yang diduga merupakan militer negara itu sendiri.
"Membela Rohingya dinilai sebagian warga Myanmar sebagai mempertahankan suku yang selalu menciptakan masalah di Myanmar. Maka dari itu ada semacam keengganan (Suu Kyi) untuk berbuat banyak mencegah pelanggaran ini," ujar Guru Besar Politik Internasional UPH itu.
Bentrokan antara militer Myanmar dan Rohingya memanas sejak 9 Oktober lalu, ketika tentara melakukan gempuran di utara Rakhine. Dalam insiden itu, sembilan polisi tewas, satu hilang dan lima lainnya terluka.
Puluhan senjata dan lebih dari 10 ribu amunisi juga dicuri dari pos polisi di perbatasan. Otoritas Myanmar meyakini, penyerangan itu dilakukan oleh warga Muslim Rohingya yang berdomisili di Rakhine.
Berdasarkan data dari militer Myanmar, bentrokan yang kian memburuk ini telah menewaskan sekitar 130 orang dan menyebabkan r
atusan Rohingya mencoba melarikan diri keluar dari Myanmar menuju Bangladesh.Konflik ini merupakan yang terparah sejak aksi kekerasan oleh kelompok Buddha radikal terhadap warga Rohingya pada 2012 lalu, yang menewaskan 200 orang dan menyebabkan 140 ribu orang kehilangan tempat tinggal.
Kemenangan Suu Kyi dalam pemilu parlemen Myanmar 2015 lalu diharapkan dapat menuntaskan masalah kemanusiaan etnis Rohingya di Myanmar. Pasalnya, sebagai tokoh yang pernah mendapat Nobel Perdaiaman Dunia, Suu Kyi juga dikenal sebagai tokoh vokal pemerhati HAM.
Aleksius menyatakan, pemilu Myanmar tidak serta merta mengubah Myanmar menjadi negeri yang sepenuhnya demokratis dan menjunjung HAM.
Aleksius menyatakan, saat ini Myanmar masih dalam masa transisi pemerintahan, yang menganut sistem pemerintahan junta militer beralih menjadi negara demokrasi.
Salah satu ujian terberat demokratisasi di Myanmar adalah menempatkan militer dibawah supremasii sipil yang menurut Aleksius belum berhasil.
"Soal HAM ini salah satunya, belum jadi bagian dari demokratisasi Myanmar. Suu Kyi menang pemilu tapi rupanya militer Myanmar masih belum sepenuhnya dikontrol supremasi hukum sipil. Mereka (Myanmar) masih dalam transisi," kata Aleksius.
"Tidak seperti militer di negara demokrasi lainnya, (militer Myanmar) masih menganggap punya kewenangan melakukan kekerasaan yang berujung pelanggaran HAM," tutur Aleksius menambahkan.
(den)