ANALISIS

Konflik Rohingya di Balik Tameng Prinsip Non-intervensi ASEAN

CNN Indonesia
Kamis, 08 Des 2016 12:12 WIB
Negara di kawasan sulit berkontribusi menyelesaikan krisis kemanusiaan etnis Rohingya di Myanmar. Apakah prinsip non-intervensi ASEAN masih relevan?
Penyelesaian konflik Rohingya tertahan prinsip non-intervensi ASEAN. (Reuters/Rafiqur Rahman)
Jakarta, CNN Indonesia -- Awal Oktober lalu, serangkaian pembunuhan dan kekerasan kembali menerpa etnis minoritas Muslim Rohingya di Myanmar, menyulut lagi perhatian dunia internasional termasuk Indonesia.

Sejak insiden penyerangan kelompok bersenjata terhadap tiga pos polisi perbatasan di Rakhine pada 9 Oktober lalu, militer Myanmar memperketat pengamanan dengan melakukan "operasi pembersihan" di wilayah itu.

Alih-alih menangkap para pelaku penyerangan, militer Myanmar diduga malah menyerang etnis Rohingya secara membabi-buta sehingga menewaskan 86 warga dan memaksa setidaknya 30 ribu lainnya mengungsi keluar Myanmar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemerintah Myanmar menuding "teroris Rohingya" berada di balik serangan itu, meski belum ada bukti konkret. Insiden berdarah ini menjadi yang terparah setelah bentrokan etnis minoritas dengan umat Buddha menewaskan 200 orang pada 2012 lalu.

Sejumlah tekanan dari masyarakat Indonesia mendesak pemerintah mengambil langkah konkret menghentikan pelanggaran HAM sistematis yang dilakukan pemerintah Myanmar.

Sebagai negara Muslim terbesar, Indonesia diharapkan bisa menengahi bahkan menghentikan dugaan “pembersihan etnis” ini.

Namun, Indonesia tak bisa sembarangan bertindak. Indonesia tidak bisa begitu saja mencampuri urusan internal dan mesti menghormati kedaulatan negara lain, khususnya sesama negara anggota ASEAN. Pasalnya, ASEAN menganut prinsip non-intervensi bagi sesama anggotanya.

“Prinsip non-intervensi itu merupakan golden rule di ASEAN. Jadi ada semacam kode etik lah antar sesama negara anggota yang anggapannya itu ‘tutup buku saja lah’ kalau ada permasalahan pada negara lainnya, khususnya masalah seperti ini,” kata mantan petugas perlindungan organisasi pengungsi PBB (UNHCR), Enny Soeprapto, di Jakarta beberapa waktu lalu.

Di sisi lain, Indonesia dan setiap negara lain memiliki kewajiban untuk melindungi masing-masing warga negaranya dari kejahatan perang, kekerasan kemanusiaan, bahkan upaya genosida.

Tanggung Jawab untuk Melindungi atau Responsibility to Protect (R2P), salah satu prinsip internasional yang diusung PBB, bahkan memungkinkan adanya intervensi langsung dari suatu negara jika negara lain dianggap telah gagal dan lalai melindungi warganya sendiri dari kekerasan dan kejahatan perang.

R2P merupakan sebuah prinsip internasional yang digagas guna mencegah kejahatan kemanusiaan seperti pemusnahan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan kemanusiaan lainnya terjadi di suatu negara.

Jika, dengan berbagai sebab, suatu negara tidak mampu atau tidak memiliki kemauan untuk melindungi rakyatnya, maka menjadi tanggung jawab komunitas internasional untuk melakukan intervensi mencegah kejahatan kemanusiaan.

Menurut pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Parahyangan Bandung, Diandra Dewi, prinsip R2P bisa digunakan Indonesia sebagai upaya pengentasan kekerasan yang terjadi di Myanmar. Namun, langkah ini tidak bisa dilakukan begitu saja. Ada dilema tersendiri bagi Indonesia jika pemerintah memutuskan menggunakan R2P sebagai dasar mengintervensi krisis kemanusiaan di Myanmar.

[Gambas:Video CNN]

“Jika memilih R2P berarti Indonesia mengabaikan prinsip non-intervensi ASEAN. Namun, jika Indonesia tetap memilih menggunakan instrumen yang ada di ASEAN, itu hanya semakin menyiksa etnis Rohingya di sana [tanpa berdampak apa-apa],” kata Diandra.

Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri RI menyatakan keprihatinannya dan terus memantau perkembangan situasi terkini di Rakhine. RI menyatakan siap membantu Myanmar mengatasi konflik kemanusiaan yang menerpa negara itu melalui kerja sama pembangunan inklusif seperti mengerahkan bantuan pendidikan dan kesehatan.

"Langkah Indonesia bukan sebagai desakan, tapi lebih kepada upaya kerja sama dalam hal pembangunan inklusif dan peningkatan capacity building untuk membantu Myanmar," ungkap Juru Bicara Kemlu RI Arrmanatha Nasir kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Arrmanatha juga menuturkan, Indonesia satu-satunya negara ASEAN yang saat ini diberikan akses langsung oleh pemerintah Myanmar ke wilayah Rakhine. Hal ini tidak lepas dari upaya Indonesia yang selalu mengedepankan engagement dan dukungan pembangunan inklusif di Myanmar.

"Baik proses demokratisasi maupun reformasi di Myanmar banyak mendapat bantuan dari Indonesia. Berbagai langkah kerja diplomasi Indonesia saat ini konkret," kata Arrmanatha.

Tameng Prinsip Non-Intervensi ASEAN

Indonesia melakukan ini sebagai upaya memenuhi tanggung jawabnya membantu Myanmar melindungi warga negaranya.

Sementara itu, suara ASEAN masih belum cukup lantang dalam menghadapi dugaan pelanggaran HAM ini.
Komunitas internasional mau itu ASEAN, PBB, dan negara lain termasuk Indonesia hanya bisa mendorong dan mendesak pemerintah Myanmar saja.Enny Soeprapto


ASEAN sebenarnya memiliki komisi HAM antar negara ASEAN (AICHR), yang dibentuk 2009 lalu dan dapat dimanfaatkan sebagai instrumen penegakan HAM di kawasan.

"Secara teori, jika instrumen itu ada pasti bisa digunakan. Tapi pertanyaannya apakah negara anggota mau menggunakannya," ucap Diandra.

Prinsip non-intervensi dan hubungan antar sesama negara anggota di kawasan adalah pertimbangan utama dalam mengupayakan "intervensi kemanusiaan" tersebut.

AICHR, menurut Enny Soeprapto, tidak akan bisa berbuat banyak dalam pengentasan masalah Rohingya. Komisi ini diperkirakan hanya bisa mendorong setiap negara anggota untuk menjunjung dan melindungi nilai-nilai HAM.

"Komunitas internasional mau itu ASEAN, PBB, dan negara lain termasuk Indonesia hanya bisa mendorong dan mendesak pemerintah Myanmar saja," kata Enny.

Komunitas internasional, termasuk ASEAN, hanya bisa mendorong pemerintah menyelesaikan masalah HAM. (Reuters/Mohammad Ponir Hossain)Komunitas internasional, termasuk ASEAN, hanya bisa mendorong pemerintah menyelesaikan masalah HAM. (Reuters/Mohammad Ponir Hossain)
"ASEAN punya AICHR tapi komisi ini tidak punya wewenang kalau harus intervensi langsung ke Myanmar. Apalagi komisioner AICHR berasal dari pejabat pemerintah negara ASEAN sendiri. Pasti mereka satu sama lain sudah dapat instruksi untuk tidak saling menyerang antar sesama negara ASEAN," tuturnya menambahkan.

Selain itu, penggagas Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal, juga skeptis akan prinsip yang selama ini mengakar di tubuh ASEAN.

Menurutnya prinsip non-intervensi ini kerap dijadikan tameng agar komunitas kawasan Asia Tenggara tak mencampuri masalah internal negara di kawasan, seperti halnya pada kasus Rohingya.

Dino mengatakan, prinsip yang tercantum dalam Piagam ASEAN itu sudah tidak relevan dengan situasi di kawasan saat ini. Ia bahkan menganggap prinsip ini sebaiknya dihapus dari piagam ASEAN sehingga organisasi dapat lebih vokal dalam menangani situasi dan permasalahan di kawasan.

“Harus (dihapus). ASEAN sekarang harus berbeda dengan ASEAN pada 1967. Dulu, waktu ada genosida di Kamboja, yang lain diam. Itu saya rasa bukan ASEAN yang sekarang," ujarnya.

"Jadi, jika ada komunitas di ASEAN yang sengsara, yang terlanggar haknya, saya kira itu harus menjadi perhatian ASEAN."
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER