Konflik Rohingya Disebut Dapat Picu Peningkatan Teror Kawasan

CNN Indonesia
Jumat, 13 Jan 2017 09:40 WIB
Sejumlah pengamat mengatakan bahwa Rakhine, tempat di mana kekerasan terhadap Rohingya kerap terjadi, dapat menjadi "sarang" terorisme di kawasan Asia Tenggara.
Ilustrasi Rohingya di Myanmar. (Reuters/Mohammad Ponir Hossain)
Jakarta, CNN Indonesia -- Konflik kemanusian yang terus menerpa kaum minoritas Muslim Rohingya di Myanmar disebut dapat memicu peningkatan radikalisme di kawasan Asia Tenggara jika tidak segera dituntaskan.

Pengamat politik luar negeri, Dewi Fortuna Anwar, bahkan menuturkan bahwa Rakhine, tempat di mana kekerasan terhadap Rohingya kerap terjadi, dapat menjadi "sarang" terorisme di kawasan Asia Tenggara.

“Ini bukan pandangan saya saja. Komunitas internasional banyak yang khawatir jika warga di negara bagian Rakhine ini terus dizalimi dan aspirasi serta status mereka tidak diperhatikan pemerintah Myanmar, ini bisa memicu radikalisme bahkan jadi sarang teroris,” tutur Dewi dalam diskusi Catatan Tahun 2016 dan Harapan Tahun 2017 di Jakarta, Kamis (12/1).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Deputi sekretariat wakil presiden RI bidang politik ini mengatakan, sikap keras pemerintah Myanmar terhadap kelompok minoritas Muslim di sana bisa dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis untuk melegitimasi aksi teror mereka.

“Jangan sampai konflik Myanmar mengikuti konflik Suriah. Ketika tuntutan kelompok pemberontak [di Suriah] malah direspons secara represif oleh pemerintahan Bashar Al-Assad, yang terjadi adalah radikalisasi dari para kelompok oposisi tersebut dengan cara yang lebih ekstrem, contohnya ISIS,” ungkap Dewi.

Sejak lama, kaum Rohingya dan sejumlah etnis minoritas Muslim lain memang kerap mendapat tekanan dari warga dan pemerintah setempat yang mayoritas Buddha.

Dalam undang-undang kewarganegaraan tahun 1982, Myanmar bahkan tidak memasukkan Rohingya ke dalam daftar 130 etnis yang diakui konstitusi. Rohingya pun tak pernah diakui sebagai warga negara.

Pengucilan etnis secara sistematis ini memicu sikap represif dan sentimen negatif dari warga Myanmar kepada Rohingya. Bentrokan yang terbaru terjadi pada awal Oktober 2016, dipicu oleh penyerangan pos polisi di perbatasan Rakhine.

Sejak serangan terjadi, bentrokan yang menargetkan kaum Rohingya semakin meningkat hingga menewaskan lebih dari 80 orang dan membuat puluhan ribu lainnya melarikan diri keluar Myanmar.

Konflik ini merupakan yang terparah sejak aksi kekerasan oleh kelompok Buddha radikal terhadap warga Rohingya pada 2012 lalu yang menewaskan 200 orang dan menyebabkan 140 ribu orang kehilangan tempat tinggal.

Dewi mengatakan, harus ada yang mampu mendorong pemerintah Myanmar untuk secara serius dan segera mengambil tindakan menangani konflik kemanusiaan ini.

Dewi mengharapkan peran Indonesia dan ASEAN untuk bisa terus meyakinkan Myanmar agar mau melindungi dan memenuhi seluruh hak warga negaranya, termasuk kaum minoritas seperti etnis Rohingya.

Dewi juga berharap, Myanmar dan negara ASEAN lainnya mau lebih terbuka dalam menyampaikan masalah internal yang sekiranya bisa merembet menjadi isu di kawasan seperti kasus Rohingya ini. Langkah ini dilakukan guna mencari solusi bersama dan memberdayakan peran ASEAN lebih besar lagi dalam menangani isu di kawasan.

“Masalah di negara ASEAN ada kecenderungan bisa merembet. Jadi bukan isu domestik saja, tapi menjadi isu regional. Diharapkan sesama negara ASEAN bisa saling merasa nyaman untuk saling terbuka karena ini demi stabilitas kawasan juga,” ucapnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER