ANALISIS

Meraba Arah Kebijakan Amerika Dalam Komando Presiden Trump

Riva Dessthania Suastha | CNN Indonesia
Sabtu, 21 Jan 2017 12:25 WIB
Pandangan negatif Trump terhadap China, Islam, dan imigran diyakini bakal mempersulit Amerika Serikat dalam menjalankan kerja sama internasional.
Pandangan negatif Trump terhadap China, Islam, dan imigran diyakini bakal mempersulit Amerika Serikat dalam menjalankan kerja sama internasional. (REUTERS/Carlos Barria).
Jakarta, CNN Indonesia -- Selesai sudah rangkaian proses pemilihan Presiden Amerika Serikat (pilpres AS). Terhitung Jumat (20/1) kemarin, AS memiliki pemimpin baru yakni Donald Trump yang telah resmi dilantik menjadi presiden ke-45 negara itu.

Apa yang akan terjadi?

Tak hanya warga AS, banyak negara di dunia juga menantikan bagaimana konglomerat tersebut membentuk kebijakan AS selama empat tahun ke depan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pasalnya, pilpres kali ini cukup menarik lantaran hasilnya jauh terbalik dengan sebagian besar hasil jajak pendapat lembaga survei pemilu.

Sebelum pemilu 8 November berlangsung, mayoritas jajak pendapat di AS memprediksi bahwa politikus Partai Demokrat, Hillary Clinton, berpeluang lebih besar merebut Airforce One.

Pengalaman Clinton sebagai ibu negara dan menteri luar negeri membuatnya dinilai pantas menjabat sebagai Presiden karena memahami dunia perpolitikan.

Sementara Trump, seorang pebisnis real-estate, dianggap tidak berpengalaman mengurusi persoalan negara lantaran sama sekali tidak pernah mengemban jabatan publik seumur hidupnya.

“Trump boleh dikatakan naif secara politik sebenarnya. Dia awam terhadap politik apalagi politik internasional. Ditambah lagi sosok dan retorikanya yang dekat dengan kontroversi membuat dirinya lebih sulit ditebak,” ungkap peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siswanto, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Minggu (21/1).

“Dunia akan lebih ramai dengan adanya Trump sebagai presiden negara besar yang punya pengaruh di dunia,” ucapnya.

Sejak mencalonkan diri sebagai Presiden, Trump dikenal sebagai politikus nyentrik lantaran kerap melontarkan pandangan dan komentar yang keras atau serampangan mengenai sejumlah isu sensitif.

Semasa kampanye, dirinya tak ragu menganggap Islam bermasalah dengan AS, menyebut imigran Meksiko di AS sebagai pemerkosa dan penjahat. Sekaligus menganggap skeptis globalisasi, khususnya kerja sama internasional yang belakangan telah mensyaratkan perdagangan bebas dan aliansi ekonomi yang dinilai Trump hanya merugikan AS.

Meraba Arah Kebijakan Amerika Dalam Komando Presiden TrumpImigran asal Meksiko yang sangat dibenci Trump. (AFP Photo/Alfredo Estrella)


Banyak yang dibuat khawatir dengan retorika Trump tersebut, apalagi setelah dirinya secara mengejutkan memenangi pemilu popular dengan memperoleh 288 electoral votes di 29 negara bagian, jauh meninggalkan Clinton, yang hanya mampu meraup 215 electoral votes.

Akankah Trump membawa retorikanya ke Gedung Putih dan menerapkanya sebagai kebijakan?

Menurut Siswanto, masih terlalu dini memprediksi bagaimana nasib AS di bawah Trump. Namun, sejauh ini ia mencatat ada dua kemungkinan yang paling kuat.

Pertama, Trump benar-benar akan menerapkan dan menjalankan kebijakan AS secara konsisten sesuai retorika dan janjinya semasa kampanye.

Kedua, dirinya hanya bisa menerapkan sejumlah janji kampanye yang memang sejalan dengan nilai-nilai AS.

Pasalnya, keputusan dan kebijakan yang ingin dijalankan Trump tetap harus mendapat persetujuan Kongres yang terdiri dari Senate dan House of Representative (DPR), apalagi jika itu menyangkut urusan hubungan luar negeri.

“Karena AS memiliki sistem pemerintahan yang matang. Meskipun Kongres didominasi oleh Partai Republik (partai pengusung Trump) mereka tak serta-merta mengekor Trump. Baik Republik dan Demokrat punya independensi dalam Kongres yang menjadi penyeimbang eksekutif,” kata Siswanto.

Jika kebijakan Trump tidak sejalan dengan prinsip AS, Siswanto menyebut Kongres tentu akan menahan kebijakan itu. Sementara jika kebijakan yang diinginkan Trump sejalan dengan Kongres dan nilai AS, tentu akan dipermudah oleh anggota Kongres.

“Seperti pandangan Trump yang terkesan anti-imigran, ini sangat bertentangan dengan nilai AS yang demokrasi serta menjunjung tinggi kesetaraan. Hal ini tentunya akan sulit bagi Trump,” tuturnya.

Washington dan Moskow

Meskipun begitu, Siswanto tak menampik bahwa akan ada sejumlah perubahan peta politik internasional AS di tangan Trump. Salah satunya, ia memprediksi bahwa hubungan Washington dan Moskow akan lebih “hangat” di tangan Trump.

Meraba Arah Kebijakan Amerika Dalam Komando Presiden TrumpPresiden Rusia Vladimir Putin. (REUTERS/Sergei Karpukhin)


Keinginan Trump untuk lebih bersahabat dengan Rusia salah satunya bisa terlihat dari kandidat menteri luar negeri yang dipilihnya, Rex Tillerson.

Tillerson, mantan bos ExxonMobil tersebut diketahui memiliki kedekatan bisnis dengan Presiden Rusia Vladimir Putin hingga mendapat penghargaan Order of Friendship dari Rusia.

Menurut Siswanto, sisi baik dari kedekatan Kremlin dan Gedung Putih di era Trump ini bisa bermanfaat pada stabilitas di kawasan terutama di Eropa Timur dan Timur Tengah khususnya mengenai konflik Suriah.

Namun, kedekatan AS-Rusia ini juga bisa menjadi bumerang bagi Trump. Siswanto berujar, spekulasi paling ekstreme bakal menganggap keinginan Trump mendekati Rusia bisa dimanfaatkan oleh Putin untuk “secara halus menghancurkan AS.”

“Kita tahu di era Barack Obama, AS-Rusia sempat memanas karena kasus Ukraina, Suriah, dan baru-baru ini masalah intervensi pemilu. Karena itu, kesan Putin menyambut Trump juga bukan dengan tanpa agenda,” katanya.

Hubungan AS-China

Menurut Siswanto, hubungan AS-China masih akan tetap “menegang”, apalagi dalam beberapa waktu terakhir ini Trump menunjukan tindakan yang bertentangan dengan China, salah satunya mendekatkan diri dengan Taiwan.

Taiwan merupakan salah satu wilayah yang dinilai Beijing sebagai pembangkang lantaran ingin memerdekakan diri lepas dari konstitusi China.

Komunikasi langsung Trump dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen beberapa waktu lalu kian menyulut amarah negara Tirai Bambu.

Meraba Arah Kebijakan Amerika Dalam Komando Presiden TrumpKomunikasi langsung Trump dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen beberapa waktu lalu kian menyulut amarah China. (Reuters//Damir Sagolj)


Percakapan ini merupakan yang pertama antar kedua negara setelah 30 tahun AS menangguhkan hubungan diplomatiknya dengan Taiwan guna memulihkan hubungan dengan China.

Pasalnya, Beijing kerap memprotes negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan China, namun juga berupaya menjalin hubungan dengan Taiwan.

Alih-alih menjauhi “api”, Trump malah memperkeruh suasana dengan menyatakan AS tidak perlu terpaku pada prinsip ‘Satu China’ saat berhubungan dengan negara lain khususnya Taiwan.

“Hubungan AS-China akan terus menegang jika Trump tetap bersikap seperti ini. Ketegangan keduanya malah dimanfaatkan Taiwan supaya AS menerapkan kebijakan yang pro negaranya,” kata Siswanto.

Sementara itu, mantan Duta Besar Indonesia untuk AS, Dino Pati Djalal, merasa khawatir dengan sikap Trump yang terkesan selalu konfrontatif ketika berhadapan dengan China.

Menurutnya, sikap Trump tersebut bisa memperkeruh ketegangan antar kedua negara yang akhirnya akan berdampak pada perekonomian dan akhirnya stabilitas global.

“Hubungan China dan AS penting. Politik di kawasan akan sulit kalau China dan AS sampai bertikai. Ini tidak baik bagi diplomasi, ekonomi, dan perdamaian di kawasan,” ungkap penggagas Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia (FPCI) itu.

Perdamaian Timur Tengah

Hal lain yang dikhawatirkan Siswanto adalah sikap Trump yang selama ini terkesan “membela” Israel, bisa membuyarkan upaya dunia internasional selama ini meraih perdamaian Israel dan Palestina.

Meraba Arah Kebijakan Amerika Dalam Komando Presiden TrumpSemasa kampanye, Trump mengaku dirinya sebagai “sahabat sejati” Israel. (REUTERS/Amir Cohen)


Semasa kampanye, Trump mengaku dirinya sebagai “sahabat sejati” Israel dan bahkan berjanji akan megakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Usai memenangi pemilu bahkan muncul wacana Trump ingin memindahkan kedutaan besar negaranya dari Tel Aviv ke kota tersebut.

Padahal, selama ini, status Yerusalem menjadi bagian dari konflik Palestina dan Israel. Palestina menganggap kota tersebut sebagai ibu kota negaranya di masa depan.

Ditambah lagi, Trump malah mengkritik resolusi PBB yang mengecam pendudukan ilegal Israel di wilayah Palestina. Padahal pemukiman Israel di wilayah sengketa itu menjadi salah satu hambatan mengapa kedua negara belum bisa berembuk di meja perundingan damai hingga hari ini.

Untuk itu, Siswanto memandang dengan pesimistis bahwa Trump bisa membawa maju perundingan damai kedua negara lebih baik lagi di masa mendatang.

“Pada era Obama saja yang lebih moderat dan tidak terlalu pro-Israel, yang padahal merupakan sekutunya, tidak membawa hasil berarti bagi kemajuan two-state solution tersebut. Apalagi di era Trump jika dia tetap membawa sikapnya itu selama di Gedung Putih,” kata Siswanto.

Terlebih, Siswanto melihat Trump memiliki pandangan lain yang cukup negatif tentang dunia Islam.

“Saya rasa ini akan sulit meskipun tidak serta-merta akan seperti itu,” imbuhnya.

Pengaruh ke Indonesia

Dari sekian banyak kontroversinya, yang paling membuat dunia khawatir adalah pandangan negatif Trump tentang dunia Islam. Dalam beberapa kesempatan, Trump berulang kali menganggap Islam bermasalah dengan AS.

Bahkan, dalam debat capres terakhir, Trump mengatakan bahwa pemerintah AS seharusnya menyebut terorisme dengan istilah ”teroris Islam radikal", istilah yang ditolak oleh pemerintahan Obama.

Menurut Siswanto, jika Trump terus konsisten dengan pandangannya itu, hal ini bisa memperburuk posisi dan hubungan AS dengan negara-negara Islam, tak terkecuali Indonesia.

Meraba Arah Kebijakan Amerika Dalam Komando Presiden TrumpDari sekian banyak kontroversinya, yang paling membuat dunia khawatir adalah pandangan negatif Trump tentang dunia Islam. (CNN Indonesia/Andry Novelino)


Ia berujar, hubungan bilateral Washington dan Jakarta bisa terpengaruh jika Trump tetap menerapkan anggapan yang terkesan bermusuhan dengan Islam tersebut.

Jika itu terjadi, tuturnya, Indonesia harus bisa bersikap lebih pragmatis dengan tetap berusaha menjaga hubungan kedua negara dan bekerja sama dalam kebijakan-kebijakan yang dinilai memiliki manfaat bagi Indonesia.

“Misalnya masalah terorisme, Indonesia bisa memperkuat hubungan kerja sama mengenai pengentasan terorisme global karena Trump juga sangat concern terkait hal ini. Tapi Indonesia harus bisa bersikap lantang ketika ada sejumlah kebijakan AS ke Indonesia yang dinilai bersebrangan dengan prinsip kita, khsusunya masalah Palestina dan Islam,” ucap alumni Universitas Indonesia itu.

Sementara itu, Dino justru beranggapan lain. Masalah Islam dan Trump bisa menjadi peluang bagi Indonesia sebagai penengah antara hubungan Barat dan dunia Islam, walaupun hal ini, butuh kedekatan dan komunikasi yang cukup intens antar pemimpin kedua negara.

“Meskipun kebijakan AS khususnya ke Indonesia masih dikatakan blank page dan masih perlu waktu untuk bisa terlihat, masalah Islam dan Barat justru bisa menjadi peluang Indonesia. Sebagai negara Islam terbesar kita bisa memainkan peran memulihkan ketegangan antara barat dan islam“ ujarnya saat ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.

“Namun lagi-lagi masih terlalu dini untuk menilai kebijakan AS seperti apa, karena kebiajkan AS bukan hanya semata-mata berkaitan dengan Trump saja sebagai presiden. Banyak variabel lain yang bisa mempengaruhi kebijakan AS ke depan,” ungkapnya. (gen)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER