Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, akan mengumumkan perintah eksekutif baru untuk menggantikan kebijakan imigrasi pelarangan sementara masuknya warga dari tujuh negara mayoritas Muslim, yang ditangguhkan pengadilan pekan lalu.
"Perintah baru itu akan sangat disesuaikan dengan [aturan] yang saya sebut sudah diputuskan dengan sangat buruk. Kita memiliki pengadilan yang buruk," ujar Trump dalam jumpa pers di Gedung Putih, sebagaimana dilansir
Reuters, Kamis (16/2).
Namun, Trump tak menjabarkan lebih lanjut mengenai aturan pengganti itu. Para ahli hukum mengatakan, regulasi baru itu kemungkinan akan lebih sulit dituntut di pengadilan, tapi masih meliputi pelarangan masuk warga dari sejumlah negara mayoritas Muslim dan imigran ilegal.
Aturan awal yang diberlakukan Trump menyebabkan banyak kontroversi dan kekacauan. Tak lama setelah Trump menandatangani perintah eksekutif itu, langsung banyak demonstrasi digelar di berbagai bandara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebanyakan demonstran merupakan warga dari tujuh negara yang disebut dalam perintah eksekutif Trump, yaitu Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman. Akibat perintah eksekutif Trump itu, visa mereka tidak akan diterima AS setidaknya selama 90 hari.
Tak hanya itu, para pengungsi dari semua negara juga tertahan di berbagai perbatasan AS karena Trump memerintahkan penghentian penerimaan imigran selama 120 hari.
Melihat kekacauan ini, seorang hakim federal di Washington pun memutuskan untuk menangguhkan regulasi Trump tersebut. Dua hakim dari Washington dan Minnesota kemudian mengajukan tuntutan atas aturan itu. Pemerintah AS melalui Kementerian Kehakiman lantas mengajukan banding.
Namun pada akhirnya, pengadilan banding juga menolak untuk memberlakukan kembali aturan tersebut karena pengacara dari Kementerian Kehakiman dinilai tak dapat menjawab sejumlah keraguan, termasuk ketika ditanya mengenai hubungan antara ketujuh negara tersebut dengan ancaman konkret terhadap AS.
Pada Kamis (16/2), Kementerian Kehakiman AS kemudian meminta penundaan proses hukum di Pengadilan banding tersebut. Mereka meminta pengadilan membatalkan kasus itu ketika Trump sudah memberlakukan aturan baru.
Bagaimana pun hasilnya, sebenarnya tak semua publik AS menolak aturan ini. Merujuk pada hasil jajak pendapat Reuters/Ipsos, setengah dari warga AS sesungguhnya mendukung aturan ini karena sepakat dengan Trump yang mengatakan, regulasi tersebut diperlukan untuk melindungi negara dari ancaman teror.