Jakarta, CNN Indonesia -- Beberapa tahun terakhir semasa hidupnya, Kim Jong-nam disebut menjalani hari-hari diliputi rasa takut akan kejaran rezim yang dikuasai adik tirinya.
Hal tersebut disampaikan seorang yang mengenal baik saudara tiri pemimpin Korea Utara yang sempat menjadi salah satu calon penerus takhta Kim Jong-il itu.
Dalam wawancara eksklusif, seorang teman dekat sekaligus kepercayaan Jong-nam bercerita soal keterbukaan pikiran dan kepribadian Jong-nam yang membawanya ke pengasingan--dan bisa jadi kematian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam beberapa perjalanan mengunjungi Jenewa dua tahun ini, Jong-nam mengunjungi Anthony Sahakian, seorang teman lama dari masa sekolahnya di Swiss.
Selama kunjungan tersebut, mereka hampir tiap hari bertemu hanya untuk minum kopi, menghisap cerutu dan berjalan-jalan.
Dikenal Sahakian dengan nama 'Lee', Jong-nam hidup di tengah pikiran bahwa adik tirinya, Kim Jong-un, mungkin memandangnya sebagai ancaman bagi pemerintah.
"Kami sebetulnya sempat membahas rezim, adik tirinya, soal apa yang terjadi di sana. Satu hal yang bisa saya katakan, dia tidak tertarik pada kekuasaan," kata Sahakian, dikutip
The Guardian, Selasa (21/2).
"Dia ingin keluar. Dia tidak pernah punya ambisi untuk menguasai negara. Dia tidak menerima atau menghargai apa yang terjadi di sana. Dia menjaga jarak dengan rezim."
Pemerintah Malaysia menyatakan dua perempuan, yang diduga ditugaskan oleh agen Korea Utara, meracun Kim Jong-nam pada Senin lalu ketika menanti pesawat dari Kuala Lumpur ke rumahnya di Macau. Dia meninggal di ambulans.
Cerita Sahakian soal obrolannya dengan Jong-nam memberikan sudut pandang baru soal posisi politik Jong-nam selama masa kepemimpinan adiknya, dan rasa takut akan kehilangan nyawa yang terus menyelimuti pikirannya.
"Dia takut. Ketakutan itu bukan ketakutan biasa tapi dia paranoid. Dia adalah orang yang penting secara politik. Dia khawatir. Tentu dia khawatir," kata Sahakian.
Jong-nam juga sempat memikirkan perannya untuk negara, yang dapat dikatakan nyaris tidak ada sama sekali. Dia menyebut negaranya dipimpin oleh sekelompok jenderal tua yang "lahir di bawah pengaruh Stalin" dan menenggelamkan Korea Utara dalam aturan isolasionis dan represif.
Jong-un, kata Sahakian, disebut sudah menjadi sistem tersebut. "Saya tidak berpikir bahwa artinya sang adik sudah dikendalikan oleh para jenderal, tapi jelas, ketika semua orang punya pola pikir sama, Anda pasti ikuti pola pikir itu."
Akhirnya, Jong-nam yang sangat menginginkan reformasi di negaranya, merasa tidak berdaya. Meski dia bisa memanfaatkan statusnya sebagai anak tertua Kim Jong-il, dia tahu dia tidak punya kepribadian atau kemauan untuk memasuki perpolitikan Korut yang kejam, kata Sahakian.
"Diperlukan pertumpahan darah untuk bisa mengubah sistem negara itu dan saya pikir dia tidak siap untuk melakukannya."
Yang jelas, Kim bukan seorang monster, kata Sahakian. Dia juga tidak hidup dalam gaya hidup yang mewah maupun bertindak seperti seorang playboy, seperti diberitakan media.
Salah satu alasannya mau berbicara soal ini adalah untuk menggambarkan teman dekatnya sebagai "orang yang baik," kata Sahakian. "Dia mungkin pernah berjudi, dia mungkin pernah kedapatan mabuk. Dia suka perempuan, tapi apa yang salah dengan itu?"
(aal)