Jakarta, CNN Indonesia -- Satu tahun setelah didapuk menjadi pemimpin de facto Myanmar, Penasihat Negara Aung San Suu Kyi menyadari tak sedikit pihak yang merasa frustrasi atas lambatnya perubahan yang terjadi pada negaranya. Karena itu, Suu Kyi menekankan, dirinya siap mengundurkan diri jika orang-orang merasa tak puas akan kepemimpinannya selama ini.
"Saat saya bergabung di dunia politik, saya berjanji satu hal: akan melakukan yang terbaik. Itu saja, tak ada hal yang lebih baik lagi yang dapat saya lakukan dari itu," tutur Suu Kyi dalam pidatonya yang disiarkan di televisi, Jumat (30/3).
"Jadi jika kalian berpikir saya tidak cukup baik untuk negara dan bangsa ini, jika seseorang atau suatu partai dirasa mampu memimpin dengan lebih baik lagi daripada kami, saya siap mengundurkan diri," tuturnya menambahkan.
Suu Kyi, sebagai pemimpin Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), memenangi pemilu demokratis bersejarah tahun lalu. Peraih hadiah Nobel Perdamaian ini merupakan pemimpin Myanmar pertama yang berasal dari warga sipil, menghentikan dinasti militer yang bercokol selama hampir setengah abad.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena itu, tak sedikit pihak yang menyimpan harapan besar pada perempuan berusia 71 tahun ini. Namun, selama 12 bulan menjabat, Suu Kyi dihadapkan pada sejumlah permasalahan pelik yang telah lama mengakar di Myanmar.
"Banyak pemilih yang akhirnya frustrasi. Warga memiliki harapan yang terlampau tinggi untuk NLD, tetapi perubahan tidak pernah terlihat jelas dan mengakar sejauh ini. Salah satunya mungkin terlihat dari tingkat korupsi tinggi yang belum juga bisa dipatahkan dan menjadi sumber kekecewaan publik," ungkap salah satu anggota parlemen fraksi partai NLD, Myo Zaw Aung.
Masalah lain yang paling menjadi perhatian adalah penanganan bentrokan antara etnis dan militer di daerah perbatasan serta diskriminasi yang mengincar etnis minoritas Muslim, seperti kaum Rohingya di Myanmar.
 Kritik dan kecaman banyak menghujani Suu Kyi, yang dianggap gagal melindungi kaum Rohingya. (REUTERS/Staff/File Photo) |
Dalam pidato berdurasi 25 menit itu, Suu Kyi berupaya menegaskan prioritasnya saat ini tertuju pada penyelesaian konflik antar etnis yang melibatkan setidaknya 20 kelompok pemeberontak.
Sejauh ini, lima kelompok etnis dilaporkan telah sepakat mencapai kesepakatan damai.
Meski begitu, Suu Kyi menegaskan akan tetap menolak menerima tim pencari fakta PBB untuk masuk ke negara bagian Rakhine, wilayah yang ditempati sebagian besar kaum Rohingya, dalam rangka menyelidiki dugaan pelanggraan HAM oleh aparat keamanan.
"Kami menyadari bahwa kami tak mampu membuat kemajuan dan perubahan seperti yang warga inginkan selama ini ... satu tahun kepemimpinan adalah waktu yang singkat," kata Suu Kyi.
"Kami memiliki banyak harapan ... tapi harapan hanyalah harapan, tidak ada yang pasti, kita harus terus mencoba," ujar Suu Kyi seperti dikutip
The Sydney Morning Herald.Kekerasan terhadap kaum Rohingya kembali mencuat sejak penyerangan pos pengamanan di tiga wilayah perbatasan Myanmar di Rakhine oleh sejumlah kelompok bersenjata pada 9 Oktober lalu.
Alih-alih memburu para pelaku penyerangan, militer Myanmar diduga malah menyerang etnis Rohingya secara membabi-buta hingga menewaskan setidaknya 80 orang.
Ini merupakan insiden berdarah terparah sejak bentrokan antara umat Buddha dan etnis Rohingya pada 2012 lalu yang menewaskan setidaknya 200 orang.
Penyelidik PBB bahkan mengatakan, tak sedikit perempuan yang diperkosa dan bayi yang dibantai oleh aparat saat operasi militer itu berlangsung.
Insiden ini memicu hujanan kritik dan kecaman pada Suu Kyi, yang dianggap gagal melindungi kaum Rohingya.
Bantahan dan sikap pasif Suu Kyi selama ini mengenai kekerasan di Rakhine dinilai merusak reputasi perempuan itu yang selama ini dikenal sebagai pembela HAM.