Jakarta, CNN Indonesia -- Panglima Angkatan Bersenjata
Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing memastikan bahwa di negaranya tak ada diskriminasi agama maupun pembersihan etnis seperti yang dituduhkan kalangan internasional. Pernyataan itu disampaikan Jenderal Min Aung dalam pertemuan dengan
Paus Fransiskus di Katedral Santa Maria, Kediaman Uskup Agung Yangon, Myanmar, Senin (27/11).
"Myanmar tidak ada diskriminasi religius sama sekali. Demikian pula militer kami, bertindak demi perdamaian dan stabilitas negara," kata Jenderal Min Aung kepada Paus Fransiskus yang sedang berkunjung ke Myanmar, seperti tercantum dalam akun Facebook Jenderal senior Myanmar itu, sejam seusai pertemuan.
"Juga tidak ada diskriminasi antara kelompok etnis di Myamar," kata Jenderal Min Aung menambahkan.
Paus Fransiskus, 80 tahun, melawat ke Myanmar untuk pertama kalinya. Dia menerima kunjungan Jenderal Min Aung selama sekitar 15 menit, di Katedral Santa Maria. Kediaman Uskup Agung Yangon di Jalan Theinbyu tersebut merupakan tempat menginap Paus selama lawatannya di Myanmar 27-30 November 2017.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih dari 620 ribu warga etnis Rohingya mengungsi dari negara bagian Rakhine, sebelah barat Myanmar menuju Bangladesh. Mereka mengaku lari dari pemerkosaan, pembunuhan dan pembakaran yang dilakukan tentara Myanmar, dimana Jenderal Min Aung Hlaing adalah panglimanya.
Kekerasan terhadap etnis Rohingya di Rakhine kian gencar setelah milisi Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) menyerang pos-pos polisi. Operasi pemberantasan milisi ARSA oleh militer memperburuk krisis kemanusiaan di Rakhine.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan Amerika Serikat menuduh militer Myanmar melakukan pembersihan etnis terhadap Rohingya. Adapun kelompok hak-hak asasi manusia (HAM) menyebut pemerintah Myanmar melakukan diskriminasi ala apartheid terhadap etnis Rohingya.
Seusai pertemuan antara Paus Fransiskus dan Jenderal Min Aung, juru bicara Vatikan mengatakan bahwa pemimpin umat Katolik dunia dan Panglima Myanmar itu membahas "tanggung jawab besar pemerintah di masa transisi ini."
Pemerintah Myanmar kini dipimpin oleh Aung San Suu Kyi setelah lima dekade diperintah junta militer. Tentara tetap mempertahankan pengaruh lewat kursi yang ditetapkan bagi militer di Parlemen.
Adapun Paus Fransiskus dalam beberapa kesempatan kerap menyebut etnis Rohingya sebagai saudara dan saudarinya. Paus berulang kali memohon dan mendoakan agar penderitaan saudara dan saudarinya, etnis Rohingya dan krisis yang mendera etnis mayoritas muslim di Rakhine, Myanmar itu segera berlalu.
(nat)