Jakarta, CNN Indonesia -- Aktivis hak asasi manusia (HAM)
Amnesty International (AI) mensinyalir bahwa
perempuan Irak yang diduga terkait milisi negara Islam
ISIS menjadi sasaran kekerasan seksual di sejumlah kamp pengungsi di Irak Utara.
Laporan AI yang dipublikasikan Selasa (17/4) didasarkan atas wawancara dengan 92 perempuan di delapan kamp pengungsi di Distrik Salahadin dan Niniweh. Para aktivis menggambarkan secara rinci pemerkosaan dan penyerangan seksual terhadap para perempuan tersebut.
"Para perempuan dipaksa dan ditekan untuk melakukan hubungan seksual dengan imbalan uang tunai yang sangat dibutuhkan, bantuan kemanusiaan dan perlindungan dari pria," kata AI seperti dilansir The National.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banyak keluarga yang diwawancara AI memiliki anggota laki-laki yang terbunuh atau ditangkap saat melarikan diri dari Mosul, kota di Irak Utara saat koalisi menggelar operasi merebut kota itu dari tangan ISIS.
Selain mengalami kekerasan seksual, para perempuan dan anak-anak juga kerap tidak diberi bantuan kemanusiaan oleh pejabat Irak karena dicurigai terkait dengan milisi ISIS.
Laporan bertajuk "The Condemned: Women and Children Isolated, Trapped and Exploited in Irak" itu menyatakan mereka yang telah kembali ke rumah-rumahnya mengalami penggusuran, penjarahan, ancaman dan pelecehan. Ada pula yang aliran listriknya diputus atau bahkan rumah mereka dihancurkan.
"Perempuan dan anak-anak yang dicurigai terkait ISIS dihukum atas kejahatan yang tidak mereka lakukan," kata Direktur Penelitian Timur Tengah, Amnesty International, Lynn Maalouf.
"Hukuman kolektif yang memalukan tersebut berisiko meletakkan dasar kekerasan lagi di masa depan," kata dia.
Pasukan Irak yang didukung kekuatan udara koalisi pimpinan Amerika Serikat berhasil mengusir ISIS dari Mosul pada Juli 2017 setelah menggempur kota itu selama sembilan bulan berturut-turut. Kelompok ekstremis ISIS menduduki kota itu selama tiga thaun setelah pemimpinnya Abu Bakr Al Baghdadi mendeklarasikan pembentukan kekhilafahan yang membentang mulai dari Irak hingga Suriah.
Pada November 2017, Perserikatan Bangsa-bangsa menyatakan sedikitnya 2.521 warga sipil tewas dalam pertempuran untuk merebut Mosul dari tangan ISIS. Kelompok teroris itu mengeksekusi sedikitnya 741 orang. Sedikitnya 74 makam massal ditemukan di dalam atau sekitar kota.
Amnesty International menyerukan kepada Perdana Menteri Irak Haider Al Abadi untuk menghentikan perlakuan buruk terhadap mereka yang belum terbukti terkait dengan ISIS.
"Untuk mengakhiri siklus marjinalisasi dan kekerasan komunal yang melanda Irak selama beberapa dekade, pemerintah Irak dan komunitas internasional harus berkomitmen untuk menegakkan hak semua warga Irak tanpa diskriminasi," kata Maalouf. "Tanpa itu, tak akan ada rekonsiliasi nasional atau perdamaian abadi."
(nat)