Jakarta, CNN Indonesia -- Kunjungan Perdana Menteri India
Narendra Modi ke Indonesia untuk bertemu Presiden
Joko Widodo, Rabu (30/5), tak lama berselang dari lawatan PM China Li Keqiang. Meski belum tentu secara langsung terkait, kedua peristiwa ini punya pengaruh tersendiri bagi situasi geopolitik kawasan.
China kini merupakan negara dengan ekonomi nomor satu di dunia, melampaui Amerika Serikat, sementara India baru diperkirakan akan beranjak ke posisi kelima, menggantikan Inggris. Perbedaan kekuatan kedua negara memang cukup signifikan, tapi persaingan ketat sudah dimulai sejak dini.
"Memang China dan India itu rival, kerap bentrok di Himalaya dan secara bisnis bersaing di Afrika. Kementerian Luar Negeri akan beri informasi soal kunjungan China belum lama ini saat kunjungan Pak Modi," kata Teuku Rezasyah, dosen hubungan internasional Universitas Padjadjaran, saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Selasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masing-masing pihak mesti saling berbagi soal pandangan terkini terhadap China, kata Rezasyah, mulai dari pergerakan militer China, klaim agresif di Laut China Selatan, hingga perkembangan dan pertumbuhan perekonomiannya. "Kalau kita bertetangga baik, akan saling berbagi informasi, yang bukan rahasia negara," kata dia.
China mengklaim telah memenangkan sengketa perbatasan di Himalaya pada Agustus lalu, menyebut India menarik pasukannya. Pihak India pun memastikan bahwa mereka telah menarik tentaranya dari area Doklam atau Donglang dalam bahasa Mandarin.
Perselisihan dimulai pada Juni, ketika India menentang upaya China memperluas jalan perbatasan di dataran tinggi tersebut.
Gestur perebutan pengaruh kawasan masih terjadi pada Januari lalu, ketika India membangun pangkalan militer di Seychelles. Kepulauan kecil di timur Afrika ini bisa jadi pemegang peran kunci dalam menangkal pengaruh China di kawasan.
India, yang mempunyai pesisir sepanjang 7.500 kilometer dan berada di tengah-tengah Samudera Hindia, bergantung pada akses bebas dan terbuka ke perairan sekitarnya.
Strategi itu mengikuti China yang mendirikan pangkalan militer luar negeri pertamanya di Djibouti, di tengah jalur pengapalan tersibuk dunia dan salah salah satu arteri penting Samudera Hindia, 2016 lalu.
Rezasyah mengatakan kedua negara yang sempat berpengaruh besar di dunia sebelum kebangkitan Barat itu akan kembali berada di puncak. Dia mengatakan China sudah jelas bisa menyaingi AS dan India akan menyusul bersama Rusia sebagai kekuatan terbesar dunia.
"Dengan stabilitas ekonomi-politiknya, China dan India mulai naik," kata Rezasyah. "Akan jadi bipolar China dan AS, lalu 10 tahun ke depan India dan Rusia bisa naik, dunia akan jadi multipolar."
Hal ini membuat hubungan dengan Indonesia jadi penting bagi kedua negara. "India berharap tidak dapat tantangan dari Indonesia ketika itu terjadi," kata Rezasyah.
Selain itu, dia memperkirakan India juga khawatir akan terjadi krisis di Laut China Selatan, melihat geliat Beijing yang terus memiliterisasi pulau-pulau buatan dan kerap melakukan aksi provokatif lainnya.
"Indonesia punya laut luas bisa mempersulit negara manapun," ujar Rezasyah. "Meskipun Indonesia bukan pihak yang mengklaim, tapi punya dampak yang luar biasa."
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi sempat mengatakan Modi dan Jokowi akan menandatangani sejumlah perjanjian kerja sama, termasuk dalam sektor pertahanan. Hanya saja, dia enggan merinci substansi nota kesepahaman atau MoU itu.
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Duta Besar India untuk Indonesia, Pradeep Kumar Rawat, yang mengatakan pertahanan adalah salah satu fokus lawatan Modi ke Indonesia di samping isu ekonomi. Dia juga enggan menjelaskan isi kesepakatan itu hingga resmi diteken.
Rezasyah memberikan catatan, MoU pertahanan itu tidak boleh sampai memprovokasi negara ketiga. Dia tidak menyebut China secara spesifik, tapi mengangkat potensi penolakan dari pihak lain.
"MoU ini tidak boleh provokatif kepada negara luar, tidak ditujukan pada negara tertentu dan harus bisa didapatkan di tingkat teknis terlepas siapa kepala negaranya, karena sekarang sedang tahun politik," ujarnya.
Dia juga mengatakan kerja sama pertahanan lebih baik tidak langsung masuk ke ranah kekuatan keras, tapi bertahap dari yang lunak seperti bidang teknologi.
"Tidak terkesan militer-sentris saja, tapi kementerian teknis masing-masing," kata Rezasyah. "Dan harus memuat klausul menghormati prinsip-prinsip hukum internasional dan bertetangga baik."
"Indonesia selama bisa mengelola dengan baik, tentunya diperhitungkan negara manapun. Stabilitas dalam negeri sangat penting, pengelolaan konflik sangat berpengaruh."
Sementara itu, peneliti LIPI Nanto Sriyanto mengatakan keseimbangan geopolitik antara China dan India bukan masalah yang mesti dikhawatirkan di tengah menghangatnya hubungan dengan Indonesia.
 Foto: REUTERS/Stringer Kapal Induk China |
"Dari perspektif Indonesia kita tetap mengedepankan kebijakan yang inklusif, menerima semua negara. Saya tidak menutup kemungkinan ini cara Indonesia melakukan perimbangan, tapi konklusi ke arah sana akan sangat prematur," ujarnya kepada
CNNIndonesia.com.Dia menyoroti bahwa peluang kerja sama investasi dengan India dan China sama-sama dibuka oleh Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.
Menurutnya, tidak ada yang salah jika Indonesia menjalin hubungan lebih erat dengan India, dan hal itu tidak bisa semata diartikan pemerintah mulai condong ke satu pihak dan meninggalkan yang lainnya.
Malah, menurutnya ada banyak potensi kerja sama dengan India yang terlewatkan di Samudera Hindia. Hal itu pun sah saja karena negara tersebut merupakan kekuatan yang memang berlokasi di perairan tersebut.
"Ini justru lebih menjaga
equilibrilium (keseimbangan). Indonesia menyambut semua negara yang mau bekerja sama. Kita menjaga agar tidak ada yang dominasi," kata Nanto.
Nanto mengatakan pemerintah RI sudah menjalin kerja sama patroli dengan India sejak 2003 saat masih dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, tapi ini masih bisa ditingkatkan.
Belakangan, ujarnya, Indonesia mengharapkan ada konektivitas antar-pelabuhan dengan India, seperti dari Aceh, Anambas atau Teluk Bayur, yang posisinya dekat dengan negara tersebut.
Nanto mengatakan ada persoalan teknis yang harus dibahas untuk mewujudkan hal tersebut, dan hal itu mesti dipersiapkan di semua tingkatan pemerintahan.
Nanto juga mengatakan Indonesia bisa memanfaatkan kerja sama dengan India dalam bidang produksi alat-alat pertahanan atau alutsista.
"India ini
layer (lapisan) kedua dalam bidang produksi alat pertahanan, dan Indonesia ada di l
ayer ketiga. Kita bisa belajar untuk memproduksi secara domestik seperti itu," kata dia.
Walau demikian, Nanto memperkirakan kedua negara belum akan menjalin kerja sama jual beli persenjataan. Menurutnya, Indonesia bisa memanfaatkan India sebagai rekanan pihak ketiga dalam bidang perawatan alat militer.
"Jadi diversifikasi tidak hanya dari AS dan Rusia. India itu tidak sepenuhnya impor, (jet tempur) Mig-27 mereka rakit sendiri dengan lisensi," kata Nanto.
"Maritim mereka kuat. Di Samudera Hindia, kita tidak ada masalah sama sekali dengan India," ujarnya.
Tenaga KerjaDi luar persoalan pertahanan, Reza menyoroti masalah investasi India di Indonesia. Sebelumnya Luhut sempat mengatakan kunjungan ini dilakukan terkait hal tersebut.
"Tentunya ia (India) tidak ingin masuk dengan salah pendekatan seperti China. Kita ada sisi China dan India dalam budaya, Modi akan berembuk dulu," ujarnya.
Dia memperkirakan Modi akan meminta konsesi dari pemerintah Indonesia, mungkin di bidang tenaga kerja, hak guna tanah dan visa untuk tenaga kerja ahli.
"Indonesia harus menyambut baik. Kalau bicara tenaga kerja India lebih terukur dari China, karena ada sertifikat dan mampu berbahasa Inggris," kata dia.
Rezasyah mengatakan dirinya berharap besar pada investasi dari India karena warga Indonesia lebih mudah berinteraksi secara bahasa dan negara tersebut tidak akan memberikan klausul penerimaan ratusan tenaga kerja asing.
"India terkesan ngeyel tapi taat hukum internasional, karena warisan dari Inggris," ujarnya.
Sementara itu, Nanto mengatakan ada satu kerja sama yang bisa sangat menguntungkan Indonesia, yakni di bidang farmasi. Menurutnya, rencana itu sudah dibahas sejak lama, tapi tidak muncul dalam agenda pertemuan Modi dengan Jokowi.
Dia sendiri belum mengetahui apa yang akan terjadi pada rencana investasi India di bidang farmasi. Yang jelas, jika terlaksana, Indonesia bisa sangat diuntungkan karena obat-obatan yang diproduksi India dijual dengan harga sangat murah.
"Harga obat di India itu hanya 10 persen dari obat-obatan yang dibuat di Indonesia," kata Nanto.
Selain itu, dia juga mengharapkan peningkatan kerja sama di bidang konektivitas.
"Kalau saya lebih menekankan ini,
connectivity. Kenapa tidak ada
direct flight (penerbangan langsung) Jakarta-New Delhi, adanya Jakarta-Mumbai dan itu baru dimulai ketika Jokowi pertama ke India."
Hal itu disebutnya bisa banyak membantu kedua negara membangun hubungan antar-warga negara yang lebih baik. Saat ini, meski hubungan antar-pemerintah sudah berjalan, Indonesia dan India masih belum dekat secara budaya.
"Di level elite kita punya banyak. Di level P2P (
People to People/antar-warga) saya bingung kenapa tidak didorong. Kalau di bidang B2B (
Business to Business/antar-pengusaha) sudah
oke tapi mesti didorong lagi," kata Nanto.
Di sektor bisnis, menurutnya jumlah perusahaan Indonesia yang beroperasi di India masih sangat kecil. Hal ini mesti di tinjau kembali, apakah diakibatkan oleh kesulitan birokrasi atau kekurangan tantangan. "Jadi jangan dibawa ke
balance of power," kata Nanto. "Dengan India ini kita dekat dan tidak ada persepsi ancaman sama sekali."
(nat)