Jakarta, CNN Indonesia --
Kamboja menolak untuk membebaskan pemimpin oposisi
Kem Sokha yang telah mendekam di penjara selama hampir satu tahun. Mahkamah Agung Kamboja menolak pembebasan dengan jaminan yang diajukan pengacara Kem Sokha atas dasar kesehatan kliennya yang memburuk.
Jaksa Ouk Kimsith berpendapat jika pemimpin partai oposisi Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP) itu bebas maka dapat memprovokasi "kerusuhan di masyarakat dan mempengaruhi stabilitas politik."
Sementara itu, pengacara Kem Sokha, Chan Chen, mengatakan jaminan bebas diajukan lantaran Kem Sokha perlu pergi keluar negeri untuk berobat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria 65 tahun itu disebut menderita tekanan darah tinggi dan diabetes. Chan Chen mengatakan keadaan kliennya terus menurun selama berada dalam penahanan.
"Klien saya tidak melakukan kejahatan," kata Chan Chen seperti dikutip
AFP, Kamis (23/8).
Kem Sokha ditahan pada September 2017 lalu setelah dituduh mengkhianati negara karena mendukung Amerika Serikat dan kerap mengkritik Perdana Menteri Hun Sen.
Penangkapan Kem Sokha saat itu dilakukan di masa menjelang pemilihan umum Kamboja.
Oposisi menilai penangkapan tersebut sarat politik, di mana Hun Sen mencoba mengamankan kemenangannya untuk kembali menjabat PM setelah 33 tahun berkuasa.
Hun Sen bahkan membubarkan CNRP yang merupakan partai oposisi terbesar dua bulan setelah menahan Kem Sokha.
Hun Sen pun menikmati kemenangan telak dalam pemilu pada akhir Juli lalu. Tanpa kehadiran oposisi, Hun Sen dan partainya, Partai Rakyat Kamboja (CPP) meraup seluruh 125 kursi parlemen.
Hal ini membuat Kamboja secara tak langsung menganut sistem satu partai.
Lebih lanjut, para pendukung Kem Sokha berharap dia bisa segera bebas. Kelompok pemerhati hak asasi manusia, Human Rights Watch (HRW), mendesak pemerintah Kamboja segera membebaskan Kem Sokha.
HRW menilai tuntutan yang selama ini dijatuhkan kepada Kem Sokha adalah "palsu" dan "tidak masuk akal."
"Perlakukan pemerintah terhadap Kem Sokha dan tahanan politik lainnya akan memberikan kesan tentang masa depan setelah pemilihan umum palsu Juli lalu," kata HRW melalui pernyataan.
(nat)