Duet Pemimpin Khmer Merah Divonis Seumur Hidup Atas Genosida

CNN Indonesia
Jumat, 16 Nov 2018 14:02 WIB
Mahkamah Luar Biasa Kamboja menjatuhkan vonis kepada 2 eks pemimpin Khmer Merah karena kejahatan pembantaian massal dan pembersihan etnis.
Ilustrasi penjara. (Istockphoto/menonsstocks)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Luar Biasa Kamboja (ECCC) menyatakan dua mantan pemimpin kelompok ultra Maois, Khmer Merah bersalah dalam tindak pidana pembantaian massal. Mereka diganjar hukuman seumur hidup karena kejahatannya ketika memimpin negara itu pada 1975 hingga 1979.

"Majelis menyatakan Nuon Chea terlibat dalam membuat keputusan penting bersama Pol Pot, maka dari itu Noun Chea bertanggung jawab atas seluruh kejahatan yang terjadi. Kejahatan itu termasuk pembantaian terhadap etnis Cham dan kelompok beragama lain," kata Hakim Anggota Nil Nonn saat membacakan amar putusan, seperti dilansir AFP, Jumat (16/11).

Saat ini tinggal dua mantan petinggi Khmer Merah yang masih hidup. Mereka adalah bekas Kepala Negara Demokratik Kamboja, Khieu Sampan (87) dan Nuon Chea (92) yang dijuluki 'Saudara Nomor 2'. Keduanya bersama Pol Pot (Saudara Nomor 1) menguasai Kamboja dengan tangan besi pada 1975 hingga 1979. Kolaborasi maut ketiganya membuat sekitar 2 juta warga Kamboja tewas saat itu.
Hakim juga menyatakan Sampan bersalah atas kejahatan genosida terhadap etnis Vietnam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelumnya para pelaku cuma divonis seumur hidup pada 2014 karena kekerasan dan pemindahan paksa penduduk di Ibu Kota Phnom Penh pada April 1975.

Ini adalah putusan pertama yang menyatakan rezim itu bersalah atas genosida setelah tumbang 40 tahun lalu. Dalam catatan sejarah mereka memerintah Kamboja dengan kejam dan menghabisi seperempat populasi penduduk karena kerja paksa, kelaparan, dan eksekusi mati.

Ratusan orang terdiri dari etnis muslim Cham dan biksu Buddha berbondong-bondong menghadiri sidang yang digelar di luar kota Phnom Penh. Putusan ini baru menyatakan kalau rezim itu bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Kebijakan mereka diistilahkan dengan 'Tahun Nol'.

Khmer Merah bercita-cita membuat Kamboja menjadi negara mayoritas Buddha yang agraris dengan prinsip Marxisme, yang menghapus golongan sosial dan agama dengan kekerasan. Selama 4 tahun berkuasa, mereka melakukan kawin paksa, pemerkosaan, membunuh para biksu, dan pembantaian di seluruh kamp kerja paksa.
Mahkamah gabungan itu terdiri dari pakar hukum Kamboja dan dunia. Mereka dibentuk pada 2006 dengan tujuan mengadili para pimpinan Khmer Merah. Sayangnya hingga saat ini baru tiga orang yang divonis bersalah oleh mereka, sementara proses penyelidikan hingga persidangan sudah menelan biaya hingga US$300 juta (sekitar Rp4,3 triliun).

Sayang tak semua petinggi Khmer Merah bisa diadili. Mantan Menteri Luar Negeri Negara Demokratik Kamboja, Ieng Sarry dan sang istri tidak bisa diseret ke pengadilan karena meninggal. Pol Pot pun sudah tutup usia pada 1998 lalu.

Pengadilan terhadap Sampan dan Chea melalui perjalanan panjang sejak 2011, sehingga harus digelar dalam beberapa bagian. Para jaksa sudah berusaha menyeret sejumlah kader tingkat bawah Khmer Merah ke meja hijau. Namun, mereka kesulitan karena pemerintah Kamboja di bawah pimpinan Perdana Menteri Hun Sen enggan mendukung langkah itu.
Sebab, Hun Sen juga dulunya adalah salah satu kader Khmer Merah, tetapi membelot. Sikapnya itu dianggap bermuatan politis. Di sisi lain, proses pengadilan itu juga menelan biaya tidak sedikit. Kemudian penyelidik kesulitan mencari bukti dan efisiensinya juga kerap dipertanyakan. (ayp)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER