Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat menyebut
Sudan berpotensi semakin berdarah di tengah makin maraknya
tindak kekerasan dan kekacauan di negara itu. Hal ini menyusul terbunuhnya 35 orang dalam kekacauan yang terjadi setelah protes digelar.
Aksi protes ini dipelopori oleh Aliansi untuk Kebebasan dan Perubahan yang berniat menggulingkan kekuasaan Omar al-Bashir pada 11 April lalu. Namun, aksi demonstrasi yang dilakukan Senin kemarin berakhir dengan tindak kekerasan yang menewaskan 35 orang.
Hassan Saouri, profesor ilmu politik di Universitas Neelain di Khartoum menyebut tindak kekerasan itu bisa menimbulkan ketidakpastian politik lebih lanjut.
"Menjadi kekacauan lain secara politik, militer, dan sosial," jelasnya kepada AFP dari Karthoum.
"Skenario kekacauan ini bisa mengarah pada perwira militer muda yang bergabung dengan jajaran revolusi atau mendukung dewan militer," tambahnya.
Kekacauan di Sudan meningkat setelah pemimpin dewan militer Abdel Fattah al-Burhan membatalkan kesepakatan serah terima kekuasaan.
Warga merespon dengan melakukan aksi pemogokan pekan lalu. Aksi ini berhasil melumpuhkan negara tersebut.
"Aksi mogok massal sangat sukses untuk melumpuhkan ibukota sepenuhnya. Itu sebabnya penguasa militer berpoliri untuk merebut salah satu kartu truf mereka dengan menghentikan aksi mogok itu."
Soui menyebut hubungan antara pihak militr dan gerakan protes sudah benar-benar hancur. Bahkan pihak aliansi tidak lagi mengakui peran RSF terhadap proses revolusi.
"Ada kurangnya kepercayaan antara pasukan militer dan para demonstran. Tidak ada visi bersama dalam menjalankan negara," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintahan militer Sudan telah mendapat dukungan dari beberapa negara seperti Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab UEA. Saudi dan UEA telah memberi dukungan finansial 2,7 miliar Euro terhadap pemerintahan militer Sudan itu.
Burhan dan wakilnya, Mohamed Hamdan Dagalo yang juga menjadi kepala Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces-RSF) telah melakukan kunjungan regional seminggu sebelum aksi mogok dilakukan.
Dalam kunjunganya itu, Burhan didiring untuk menghindari kejadian yang terjadi di Libya dan Yaman, seperti diungkap profesor politik di Universias Paris 8.
[Gambas:Video CNN] (afp/eks)