Taktik Selandia Baru Tangani Media Sosial Usai Aksi Terorisme

CNN Indonesia
Selasa, 10 Sep 2019 21:08 WIB
Selandia Baru menilai aksi teror penembakan masjid di Christchurch menyadarkan mereka perlunya mengendalikan penggunaan media sosial.
Masjid Al Noor di Kota Christchurch, Selandia Baru yang menjadi salah satu lokasi aksi terorisme pengikut ekstrem kanan. (REUTERS/Jorge Silva)
Jakarta, CNN Indonesia -- Selandia Baru menilai teror penembakan masjid di Christchurch enam bulan lalu menyadarkan pemerintah bahwa kendali penggunaan media sosial yang minim bisa membahayakan warganya. Mereka lantas membenahi hal itu dengan menerapkan aturan baru untuk membatasi sirkulasi konten kekerasan dan ekstremisme di media sosial.

Berkaca dari hal itu, Perdana Menteri Jacinda Ardern kemudian menggagas Christchurch Call (CC). Itu adalah sebuah gerakan untuk mengikat komitmen berbagai negara beserta perusahaan teknologi dunia untuk bekerja sama menangkal konten terorisme dan ekstremisme.


"Melalui Christchurch Call kami berupaya meyakinkan bahwa media sosial tidak akan digunakan lagi seperti dalam insiden Christchurch. Meski begitu, kami tetap menjunjung tinggi kebebasan internet," ujar Duta Besar Selandia Baru untuk Indonesia, Jonathan Austin, dalam diskusi Regional Conference on Digital Diplomacy di Jakarta, Selasa (10/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Komitmen CC konsisten dengan prinsip-prinsip kebebasan menggunakan internet secara terbuka, bebas, dan aman tanpa mengorbankan hak asasi manusia termasuk kebebasan berekspresi," kata Austin.

Pelaku penembakan Christchucrh, Brenton Harrison Tarrant, sempat merekam dan menyiarkan langsung aksi keji itu melalui akun Facebook-nya. Video penembakan itu bahkan telah ditonton sebanyak 4.000 kali sebelum akhirnya diblokir di hari yang sama.

Austin menuturkan aksi keji yang disiarkan langsung melalui media sosial itu menyadarkan semua pihak bahwa fitur yang ada di dalamnya bisa memicu bahaya.


"Media sosial digunakan dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai alat untuk mempromosikan aksi terorisme dan kebencian. Tak terhitung ribuan orang menyaksikan langsung pembunuhan itu meski mereka dapat memilih untuk melihatnya," kata Austin.

Austin menuturkan setiap detik ada satu pengguna internet yang mengunduh video pembantaian Christchurch di YouTube di hari insiden terjadi. Pemerintah Selandia Baru, katanya, langsung memblokir video-video tersebut.

Demi menyetop penyebaran rekaman tragis itu, Selandia Baru juga menjatuhkan sanksi dan denda terhadap setiap media sosial, termasuk portal berita dan stasiun televisi, yang menyiarkan video tersebut.

Berkaca dari insiden Christchurch, Austin menuturkan Selandia Baru segera mengkaji kembali peran media sosial dengan berbagai pihak, termasuk raksasa teknologi seperti Facebook, Twitter, hingga Google.

[Gambas:Video CNN]

Menurutnya, penyalahgunaan media sosial yang sudah marak terjadi bukan hanya masalah bagi satu negara saja, tapi bagi seluruh pihak termasuk masyarakat dan perusahaan teknologi itu.

"Komunitas internasional sudah terlalu lama membiarkan platform media sosial digunakan (sejumlah oknum) untuk menghasut kekerasan ekstremisme dan bahkan membiarkan pendistribusian konten-konten tersebut, seperti yang terjadi di Christchurch," ujar Austin. (rds/ayp)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER