Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga riset
Carnegie Endowment for International Peace menyatakan dalam laporan mereka bahwa
China menjual peralatan elektronik dan
perangkat lunak, yang digunakan untuk memata-matai etnis
Uighur di Wilayah Otonomi Xinjiang, kepada 63 negara di dunia. Para pelanggan di antaranya adalah Iran, Myanmar, Venezuela, Zimbabwe serta sejumlah negara lain yang dilaporkan memiliki catatan pelanggaran hak asasi manusia.
Seperti dikutip dari laman
Japan Times, Selasa (17/12), Carnegie menyatakan perangkat pemantau dengan sistem kecerdasan buatan
(artificial intelligence) yang dibuat China diterapkan di wilayah Xinjiang. Sistem itu bisa menampilkan profil seseorang hanya dari tangkapan citra kamera yang dihubungkan dengan pusat pengolahan data.
Lembaga yang bermarkas di Washington, Moskow, Beirut, Beijing, Brussels dan New Delhi itu menyebut perangkat tersebut sebagai "teknologi otoriter". Menurut analisis mereka, teknologi tersebut digunakan oleh negara-negara dengan pemimpin yang otoriter untuk mengawasi dan meredam gejolak atau malah membungkam kritik masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada juga kekhawatiran data itu akan dikirim kembali ke China dengan tujuan yang tidak diketahui. Mereka menjual sistem itu dengan pinjaman lunak.
"Teknologi ini terhubung dengan sejumlah perusahaan China, yakni Huawei, Hikvision, Dahua dan ZTE, yang memasok sistem kecerdasan buatan du 63 negara. Sebanyak 36 negara di antaranya sudah meneken kerja sama dalam program Inisiatif Sabuk dan Jalan China," demikian isi laporan lembaga itu.
[Gambas:Video CNN]Mereka menyatakan penjualan teknologi pengawasan dengan kecerdasan buatan bukan didominasi China. Mereka menyatakan sejumlah negara lain, bahkan yang menerapkan sistem politik demokrasi, turut menjual perangkat tersebut.
Negara-negara tersebut antara lain Jepang melalui NEC Corporation yang menjual teknologi pengawasan kepada 14 negara. Sedangkan Amerika Serikat melalui IBM melego sistem itu kepada 11 negara.
"Sejumlah negara yang menerapkan sistem demokrasi liberal seperti Israel, Jepang, Jerman dan Prancis juga turut bermain mengembangkan teknologi ini. Sangat disayangkan mereka tidak mengambil langkah untuk mengawasi dan mengendalikan penyebaran teknologi yang rumit ini yang berpotensi melanggar sejumlah aturan dan hak asasi," lanjut isi laporan itu.
Sementara itu, Kepala Media dan Diplomasi Publik Kedutaan Besar China di Jakarta, Huang Hui belum memberikan respons saat diminta konfirmasi atas laporan tersebut.
(ayp)