Kekerasan terhadap Pengungsi Perempuan Meningkat saat Pandemi

AFP | CNN Indonesia
Selasa, 21 Apr 2020 18:37 WIB
In this photograph taken on August 12, 2018, Saleema Khanam, 8, gets ready before heading to a madrassa (Islamic seminary) for her studies in Kutupalong camp, in Ukhia near Cox's Bazar.
Islamic seminaries or madrassas, catering to Rohingya children driven from Buddhist-majority Myanmar by a wave of genocidal violence, are springing up in the world's largest refugee camp in Bangladesh since a massive influx of Rohingya Muslims last year. Formal schooling, which suggests a permanent presence, is not allowed in the camps. For many children, the madrassas are the only places to learn. / AFP PHOTO / CHANDAN KHANNA
Ilustrasi kehidupan seorang pengungsi perempuan. (Foto: AFP PHOTO / CHANDAN KHANNA)
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) mengatakan ada peningkatan risiko kekerasan terhadap para pengungsi perempuan selama pandemi virus corona.

UNHCR mengatakan para pengungsi perempuan kemungkinan dipaksa menjalani pernikahan anak atau melakukan hubungan seks yang tidak diinginkan demi bertahan hidup.

Kebijakan penguncian wilayah atau lockdown untuk mengendalikan penyebaran Covid-19 justru memberikan dampak merugikan bagi mereka. Pergerakan para pengungsi perempuan menjadi terbatas dan mereka tidak bisa mengakses layanan pendukung.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita perlu memberi perhatian terhadap perlindungan bagi para pengungsi perempuan yang tidak memiliki kewarganegaraan di tengah pandemi sekarang," ujar asisten komisaris tinggi untuk perlindungan UNHCR Gillian Triggs seperti mengutip AFP.

"Mereka (pengungsi perempuan) termasuk diantara yang paling berisiko. Akses tidak boleh dibiarkan terbuka bagi para pelaku kekerasan dan tidak ada bantuan untuk menyelamatkan mereka dari pelecehan dan tindak kekerasan," ujarnya menambahkan.

Kekerasan terhadap Pengungsi Perempuan Meningkat saat PandemiFoto: CNN Indonesia/Fajrian
Menurutnya, pengungsi perempuan yang menolak menjadi objek pelecehan bisa berakhir dikurung oleh pelaku. Sementara tidak sedikit para pengungsi perempuan yang kehilangan mata pencaharian untuk bertahan hidup.

"Mereka mungkin dipaksa melakukan hubungan seks untuk bertahan hidup, atau pernikahan di bawah umur oleh keluarga mereka," ujar Triggs.

Lockdown yang diberlakukan di banyak negara berarti terbatasnya akses bagi para pengungsi ke layanan pendukung. Beberapa tempat perlindungan khusus pengungsi perempuan saat ini telah ditutup sementara.

Untuk mengatasi risiko tersebut, UNHCR mendistribusikan bantuan darurat berupa yang bagi para penyintas dan perempuan yang dianggap berisiko mengalami kekerasan berbasis gender.

Triggs mengatakan pemerintah yang memberlakukan lockdown seharusnya bisa memperhitungkan adanya potensi peningkatan risiko kekerasan terhadap perempuan dalam rencana aksi mengatasi penyebaran virus corona. Salah satunya yakni dengan tetap membuka akses terhadap layanan untuk korban kekerasan berbasis gender.

Berdasarkan data yang dirilis oleh UNHCR hingga 2019 ada 70,8 juta pengungsi di seluruh dunia., sekitar 37 ribu orang terpaksa meninggalkan rumah mereka setiap harinya untuk menghindari konflik atau tindak kekerasan. (evn)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER