Klaim Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menyebut ledakan di Beirut sebagai serangan telah membuat para pejabat Libanon khawatir. Sejauh ini pihak berwenang Libanon belum menyimpulkan bahwa ledakan itu sebuah serangan.
Seperti dikutip dari CNN, dua pejabat Kementerian Luar Negeri AS mengatakan para pejabat Libanon sangat khawatir dengan kata 'serangan' yang dipakai Trump untuk menggambarkan dua ledakan yang terjadi pada Selasa (4/8) waktu setempat itu.
Trump sebelumnya mengaku mendapat laporan dari militer bahwa dua ledakan besar yang terjadi di pelabuhan Beirut adalah sebuah serangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya bertemu dengan sejumlah jenderal dan mereka mengatakan merasa ledakan itu bukan akibat proses kecelakaan kerja. Mereka melihatnya sebagai sebuah serangan. Seperti bom atau lainnya," kata Trump dalam konferensi pers di Washington D.C.
Dalam kesempatan itu dia juga menyampaikan simpati AS serta menawarkan bantuan kepada Libanon.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengungkapkan pemerintah Libanon sedang menyelidiki penyebab ledakan. Kata dia, AS akan menantikan hasilnya.
Berdasarkan hasil penyelidikan sementara, Dewan Pertahanan Tertinggi Libanon menyatakan ledakan sebagai disaster-striken city atau bencana kecelakaan.
Perdana Menteri Libanon mengatakan ledakan terjadi di tempat penyimpanan amonium nitrat. Diperkirakan ada 2.750 ton amonium nitrat di dalam gudang itu, hasil sitaan selama enam tahun belakangan.
Tony May, mantan penyelidik ledakan untuk pemerintah AS mengatakan dari video yang beredar kemungkinan ada bahan lain yang menyebabkan ledakan. Sebab, menurut dia tanda ledakan amonium nitrat adalah asap berwarna kuning, sementara dalam video tidak ada asap berwarna kuning.
Amonium nitrat adalah bahan kimia berdaya ledak tinggi yang sering digunakan untuk pupuk, tetapi juga dipakai sebagai bahan peledak. Meski begitu, aparat Libanon belum dapat memastikan penyebab ledakan.
Dilansir kantor berita Rusia, TASS, Dewan Keamanan Tinggi Libanon segera menggelar rapat darurat tak lama setelah ledakan terjadi. Dewan tersebut segera menetapkan Beirut sebagai kota terdampak bencana kecelakaan pasca-ledakan.
Dewan Pertahanan Tertinggi juga memutuskan membentuk komisi khusus untuk menyelidiki bencana ledakan tersebut. Komisi itu diminta menyiapkan laporan terkait penyelidikan dalam lima hari ke depan.
Perdana Menteri Libanon Hassan Diab mendesak komisi investigasi segera mempublikasikan temuan mereka dalam waktu 48 jam ke depan.
Hingga kini korban tewas akibat ledakan besar itu telah mencapai lebih dari 100 jiwa, sementara 4.000 orang lebih mengalami luka-luka.
(dea)