Lembaga penelitian Singapura, ISEAS-Yusof Ishak Institute menyoroti kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim terkait kebijakan penutupan sekolah.
Dalam hasil riset berjudul "Teaching and Learning During School Closure: Lessons from Indonesia" yang dirilis pada 21 Agustus, ISEAS merangkum temuan dari sepuluh survei untuk menganalisis proses belajar-mengajar selama penutupan sekolah di Indonesia.
Survei dilakukan antara April dan Juni 2020. Responden yang terlibat terdiri dari siswa, guru, dan kepala sekolah dari jenjang pendidikan PAUD hingga SMA, serta orangtua dari anak usia sekolah.
Responden tersebut dihubungi melalui panggilan telepon, dan diberi pilihan untuk mengisi survei melalui SMS gratis, WhatsApp, dan Facebook Messaging.
Survei mengidentifikasi empat jenis interaksi siswa-guru selama penutupan sekolah.
Interaksi pertama, dan paling ideal, interaksi langsung antara guru dan siswa melalui telepon seluler, aplikasi internet, atau kunjungan ke rumah. Untuk aplikasi ponsel, cara yang paling populer digunakan adalah melalui WhatsApp. Kedua, guru mengirim pesan kepada siswa melalui orangtua.
Ketiga, guru hanya memberikan tugas atau pekerjaan rumah kepada siswa, tanpa berinteraksi langsung atau memberikan umpan balik kepada siswa. Keempat, guru sama sekali tidak terlibat dengan siswa. Pada tipe terakhir ini, siswa biasanya belajar secara mandiri, melalui program radio atau televisi. Dalam beberapa kasus, siswa mungkin tidak belajar sama sekali.
Melalui ekstrapolasi kualitatif dan membandingkan hasil survei di tingkat nasional, ISEAS memperkirakan bahwa 60-70 persen guru berinteraksi langsung dengan siswa atau melalui orangtua. Sekitar 10 persen guru memiliki jenis interaksi ketiga. Sisanya termasuk dalam tipe keempat.
Lembaga itu juga menemukan bahwa semua siswa di semua tingkat pendidikan menghadapi risiko kerugian belajar secara signifikan selama penutupan sekolah dan terdapat ketidaksetaraan belajar yang cenderung melebar.
Selama penutupan, anak-anak dari latar belakang ekonomi kurang mampu menghabiskan lebih sedikit jam belajar dan memiliki akses yang lebih terbatas terhadap fasilitas belajar. Sementara anak-anak yang memiliki orangtua berpendidikan tinggi, lebih terlindungi dari risiko kerugian tersebut.
Hal itu diperburuk dengan kondisi bahwa hanya 40 persen orang Indonesia yang memiliki akses internet, khususnya untuk menunjang pembelajaran di rumah.
ISEAS memberikan dua rekomendasi kebijakan kepada Kemdikbud untuk mengatasi hal tersebut.
"Pertama, Kemendikbud harus segera mengatur cara untuk mengukur tingkat belajar siswa untuk mengukur tingkat keparahan kerugian belajar. Pengukuran harus dilakukan dari jarak jauh karena alasan kesehatan," tulis ISEAS dalam hasil riset itu.
"Kedua, untuk menghindari hilangnya pembelajaran permanen bagi sebagian besar siswa, Kemendikbud perlu menerapkan kebijakan yang memaksa guru menerapkan pengajaran diferensial," tambahnya.
Cara khusus pengajaran diferensial yaitu penilaian berkala dan penyesuaian pengajaran dengan tingkat pembelajaran siswa yang dapat diterapkan tergantung pada kemampuan dan motivasi guru, dikombinasikan dengan dukungan dari orangtua dan pemerintah daerah.
Hampir 69 juta siswa dari semua tingkat pendidikan di Indonesia terdampak oleh kebijakan penutupan sekolah oleh Kemdikbud untuk mencegah penularan Covid-19 di sekolah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekolah juga diminta membatalkan semua jenis ujian yang mengharuskan siswa berkumpul. Untuk pertama kalinya, setidaknya dalam tiga dekade, ujian nasional bagi siswa SMP kelas 9 dan SMA kelas 12 dibatalkan.
CNNIndonesia.com sudah menghubungi Nadiem Makarim untuk meminta tanggapan. Namun pesan singkat yang dikirimkan belum direspons.
(ans/dea)