Badan Penelitian dan Pengengembangan Hukum dan HAM tengah mengembangkan aplikasi SIPKUMHAM yang memuat database permasalahan hukum, HAM dan layanan publik. Menurut penggagas aplikasi SIPKUMHAM Machyudhie, aplikasi ini nantinya mampu membaca berita dari 80 media online dan media sosial lewat metode crawling data.
"Aplikasi ini diproyeksikan menjadi basis data perumusan kebijakan seputar isu hukum, HAM serta layanan publik Kementerian Hukum dan HAM. Aplikasi ini merupakan database hukum dan HAM pertama di Indonesia yang memanfaatkan teknologi artificial intelligence," ujarnya dalam keterangan tertulis.
Machyudhie menuturkan data yang terjaring pada aplikasi ini akan diklasifikasikan ke dalam kategori permasalahan hukum, HAM dan layanan publik. Data tersebut dapat memberi gambaran gejala, pola, tren dan isu-isu aktual permasalahan hukum dan HAM serta pelayanan publik yang ada di masyarakat serta menjadi informasi untuk mendukung pembuatan kebijakan serta peningkatan kualitas penelitian.
"Misalnya, kita bisa melihat isu aktual permasalahan hukum maupun HAM apa yang paling banyak muncul di tahun 2020 pada provinsi x, dan para pihak yang terlibat, jadi bisa dibuat penelitian lebih lanjut," jelas Machyudhie.
Diketahui, aplikasi SIPKUMHAM juga mampu membaca sentimen masyarakat atas isu layanan publik Kemenkumham. Hingga Agustus 2020, SIPKUMHAM berhasil membaca sentimen dari 29.464 data permasalahan layanan publik yang muncul di media online dan media sosial dalam setahun terakhir. Sentimen dibaca dari klasifikasi pemberitaan media online dan respons masyarakat di media sosial terkait layanan Kemenkumham.
Ada empat unit layanan yang jadi prioritas yaitu layanan keimigrasian, layanan pemasyarakatan, pengurusan hak kekayaan intelektual dan urusan administrasi hukum umum. "Jadi kalau ada sentimen negatif di suatu layanan, pimpinan bisa langsung monitor dan evaluasi kinerja layanannya," jelasnya.
Sementara itu, Dosen Universitas Pattimura Revency Rugebregt berharap aplikasi ini mampu membaca permasalahan hukum dan HAM yang ada di tingkat lokal. Menurutnya, selama ini banyak kebijakan di daerah yang diputuskan atas dasar opini pimpinan, bukan masalah yang nyata terjadi di masyarakat.
"Kalau pemerintah bisa membaca permasalahan masyarakat hingga ke pelosok negeri, maka kebijakan yang dihasilkan pun pasti menyejahterakan rakyat," ungkapnya
Peneliti ICJR Anggara juga menyebut aplikasi ini sebagai langkah baik dari pemerintah. Meski begitu, SIPKUMHAM tidak boleh dilihat sebagai satu-satunya dasar perumusan kebijakan. Teknologi artificial intelligence harus diiringi kapasitas analisis oleh SDM yang kompeten serta sumber data lain yang valid.
"SIPKUMHAM bisa dijadikan salah satu dasar, tapi bukan satu-satunya," tegasnya.
Selain itu, SIPKUMHAM juga harus didukung komitmen dari pemerintah. Menurut Renata Arianingtyas dari The Asia Foundation, aplikasi ini bisa menjadi kebijakan yang baik jika ada goodwill dari pemerintah. Untuk memastikan adanya goodwill pemerintah, Renata menyarankan ada peraturan khusus yang mengatur pemakaian SIPKUMHAM ke depannya.
(adv/adv)