Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menegaskan bahwa pertarungan perlu dilakukan untuk melawan sentimen anti-Muslim. Dia menyatakan hal itu pada peringatan 25 tahun Perjanjian Perdamaian Dayton, Minggu (1/11).
"Pertarungan perlu dilakukan melawan sentimen anti-Muslim hari ini, sama seperti pertempuran dilakukan melawan anti-Semitisme setelah Holocaust," kata Erdogan dilansir dari Anadolu Agency.
Perjanjian Perdamaian Dayton mengakhiri perang dan genosida di Bosnia- Herzegovina pada 1 November 1995.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam siaran virtual Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tentang genosida dengan tema pelajaran yang dipetik dari Srebrenica, Erdogan menyatakan kejadian tersebut sebagai noda hitam dalam sejarah.
"Genosida yang terjadi 25 tahun lalu di Srebrenica, jantung Eropa, telah diukir sebagai noda hitam pada sejarah umat manusia. Meskipun telah berlalu seperempat abad, rasa sakit yang disebabkan oleh pembunuhan 8.372 saudara dan saudari Bosnia, terus melukai hati kita," tuturnya.
Ia kemudian kembali mengungkapkan rasa bela sungkawa kepada para korban yang disebutnya sebagai martir.
Erdogan mengatakan keadilan yang seharusnya diperoleh para penyintas tidak dapat dipenuhi sepenuhnya hingga saat ini. Sebagian besar pelaku, kata Erdogan, bahkan tidak menerima hukuman yang tepat hingga hari ini.
"Mereka yang menyerahkan saudara dan saudari kita yang berlindung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa kepada para pembunuh dan mengirim mereka sampai mati tidak memberikan pertanggungjawaban," ucapnya
Erdogan juga menyinggung pembantaian di Suriah, Yaman, Arakan, hingga Selandia Baru.
Menurut dia, organisasi internasional yang telah menyaksikan genosida Srebrenica hanya menjadi pengamat dalam menghadapi kekejaman belakangan ini.
"Kami melihat negara-negara yang mengajarkan dunia tentang hak asasi manusia dan demokrasi, memimpin dalam Islamofobia dan xenofobia."
Belakangan, sentimen anti-Muslim berkembang di Prancis. Hal ini terjadi usai seorang guru di negara tersebut dipenggal usai menggunakan karikatur Nabi Muhammad dari majalah Charlie Hebdo sebagai materi pelajaran di kelas.
Presiden Prancis Emmanuel Macron mendukung publikasi kartun itu dengan dalih kebebasan berpendapat hingga menyulut amarah umat Islam.
Pada 29 Oktober pagi waktu setempat, penyerangan kembali terulang di Prancis. Kali ini terjadi di Gereja Notredame Basilica di Nice yang menyebabkan tiga orang tewas dan satu di antaranya dipenggal oleh pelaku.
Penyerangan terbaru terjadi di kota Lyon, di mana seorang pendeta Kristen Ortodoks Yunani, Nikolaos Kakavelaki (52), mengalami luka-luka setelah ditembak penyerang misterius. Dia diserang saat sedang menutup gereja pada Sabtu (31/10). Kini ia dalam kondisi kritis di rumah sakit.
Macron mengatakan bahwa Islam adalah agama yang sedang dalam krisis. Di sisi lain dia ingin terus menegakkan prinsip sekularisme di negaranya.
(ndn/dea)