Warga Myanmar akan mulai memberikan suara pada Minggu (8/11) dalam pemilihan umum tahun ini, sebagai upaya mempertahankan demokrasi yang baru saja mereka rasakan lima tahun lalu.
Dalam pemilihan umum 2020, sekitar 37 juta orang terdaftar sebagai pemilih. Namun, keikutsertaan masyarakat dalam memberikan suara dalam pemilu tahun ini diperkirakan menurun karena kekhawatiran akibat peningkatan kasus infeksi virus corona (Covid-19) baru-baru ini.
Partai Liga Demokrasi Nasional (NLD) dan tokohnya, Aung San Suu Kyi, diperkirakan bakal kembali menguasai suara dalam pemilu kali ini sama seperti 2015. Kala itu, kemenangannya disambut baik warga Myanmar karena menjadi awal setelah berada di bawah pemerintahan tentara lebih dari lima dekade terakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pesaing utama mereka adalah Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan Myanmar, yang didukung oleh militer.
Akan tetapi, kali ini para pengamat merasa pemerintahan Suu Kyi dalam periode ini gagal menjalankan prinsip-prinsip demokrasi.
Direktur Institut Tampadipa, Khin Zaw Win, menilai Suu Kyi dan partainya lebih fokus memperkuat kekuasaan daripada mendorong praktik demokrasi yang lebih luas. Lembaga itu merupakan kelompok advokasi kebijakan berbasis di Yangon.
"Aung San Suu Kyi dan partainya tidak membawa demokrasi ke Myanmar. Sebaliknya, mereka mencoba membawa sistem demokrasi satu partai," kata Khin Zaw Win seperti dilansir Associated Press, Sabtu (7/11).
Kontroversi sudah terjadi bahkan sebelum proses pemungutan suara dilakukan. Komisi Pemilihan Umum dituduh berkomplot dengan partai Suu Kyi dengan membatalkan pemungutan suara di beberapa wilayah yang bisa memenangkan partai-partai oposisi atau kritis terhadap pemerintah.
Sedangkan Komisi Pemilihan Umum membantah hal tersebut dan menyatakan pembatalan pemungutan suara di beberapa wilayah karena menjadi kawasan konflik bersenjata dengan gerilyawan etnis.
Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk hak asasi manusia di Myanmar, Thomas Andrews, mengkritik hal itu dengan mengatakan Myanmar tidak akan dapat mengadakan pemilu yang bebas dan adil selama hak memilih ditolak berdasarkan ras, etnis, agama, sama halnya dengan nasib etnis Rohingya.
Reputasi Suu Kyi juga mulai tercoreng terkait hal tersebut. Terutama ketika terjadi kampanye kontra-pemberontakan yang terjadi pada 2017.
Kala itu tentara Myanmar melakukan pembantaian besar-besaran yang membuat sekitar 740 ribu etnis Rohingya melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh.
Andrews juga menyoroti minimnya akses partai oposisi kepada media serta penyensoran terhadap kritik kebijakan pemerintah.
Suu Kyi semakin dianggap gagal menerapkan demokrasi setelah secara agresif menerapkan undang-undang pencemaran nama baik dan telekomunikasi terhadap jurnalis serta aktivis yang kritis kepada pemerintah dan militer.
Kendati demikian, Suu Kyi dinilai akan tetap menguasai suara dalam Pemilu 2020. Analis politik, Richard Horsey, menilai hal terjadi karena dukungan personal dari banyak orang kepada Suu Kyi tanpa memandang kinerjanya selama ini.
"Saya pikir itu benar-benar dukungan pribadi, bahkan cinta, yang dimiliki banyak orang untuk Aung San Suu Kyi sendiri, hampir terlepas dari bagaimana kinerja administrasi pemerintah, bagaimana kinerja ekonomi dan sebagainya," kata Richard Horsey.
(chr/ayp)