Jejak Panjang Sengketa Pilpres AS

CNN Indonesia
Senin, 09 Nov 2020 15:28 WIB
Sengketa perhitungan suara dalam Pilpres AS telah terjadi selama lebih dari enam dekade lalu, hingga kini beberapa sengketa selama proses pemilu.
Sengketa perhitungan suara mewarnai Pilpres AS dalam lebih dari enam dekade terakhir. (Foto: AP/Marcio Jose Sanchez)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pasangan Joe Biden-Kamala Harris dinyatakan menang dalam Pilpres AS setelah melawan kandidat petahana Donald Trump-Mike Pence. Menurut proyeksi CNN, Biden berhasil mengantongi 279 suara elektoral, sementara Trump tertinggal dengan 214 suara elektoral.

Hanya saja, Trump berulang kali menyatakan tak terima dengan kemenangan Biden. Ia dengan tegas menolak klaim deklarasi kemenangan Biden-Harris di Wilmington pada Sabtu (7/11) lalu.

Ia menyatakan akan melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung terhadap hasil penghitungan suara di tiga negara bagian yakni Pennsylvania, Nevada, Georgia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti halnya Trump, para pendukungnya juga kerap menuduh Demokrat berhasil memenangkan pilpres lewat cara-cara curang.

Aksi saling gugat hasil perhitungan suara dalam pemilihan presiden AS sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Negeri Paman Sam memiliki sejarah panjang terkait sengketa pilpres.

Mengutip The Conversation, sengketa Pilpres AS pernah terjadi setidaknya tiga kali pada periode 1960, 2000 dan 2016.

Kennedy vs Nixon

Sengketa hasil pilpres AS tercatat terjadi pada Pemilu 1960 antara capres Partai demokrat John F. Kennedy versus capres Republik Richard Nixon.

Pilpres kala itu sarat dengan tuduhan penipuan, para pemilih dan pendukung Nixon mendesak penghitungan ulang yang agresif di banyak negara bagian.

Pada akhirnya, Nixon terpaksa menerima hasil pilpres yang memenangkan Kennedy ketimbang harus menyeret AS ke dalam perselisihan sipil di tengah ketegangan dengan Soviet selama Perang Dingin.

Kennedy akhirnya melenggang ke Gedung Putih.

[Gambas:Video CNN]

Bush vs Gore

Sengketa pilpres AS kembali terjadi antara capres Republik, George W. Bush menghadap capres Demokrat, Al Gore pada tahun 2000. Keduanya berselisih soal perolehan suara di negara bagian Florida.

Dilansir History, beberapa jaringan media AS semula mengumumkan bahwa perolehan suara di Florida menguntungkan bagi Gore. Lalu hal itu berubah dan memihak Bush.

Bush dan Gore pun berselisih sengit hanya untuk memperebutkan beberapa ratus suara di Florida, termasuk perselisihan mengenai kualitas surat suara yang kala itu dianggap buruk. Banyak surat suara berada dalam kondisi yang membingungkan, seperti hilangnya nama kandidat atau dicoblos dengan keliru.

Lima pekan setelah pilpres, Mahkamah Agung mengambil keputusan akhir yakni menghentikan upaya penghitungan ulang.

Bush memenangkan di 30 negara bagian, termasuk Florida dan mempertahankan mayoritas lima suara yang sangat tipis di Electoral College. Dia menjadi capres pertama dalam 112 tahun yang memenangkan pilpres tanpa menang dalam pemilu.

Kendati demikian, Gore justru unggul lebih dari 500 ribu suara dibandingkan Bush. Hal itulah yang membuat Gore sulit menerka kekalahan, kendati ia secara terbuka mengakui legitimasi kemenangan Bush.

"Meskipun saya sangat tidak setuju dengan keputusan pengadilan, saya menerimanya," kata Gore kala itu.

Infografis Partisipasi Pemilih dalam Pemilu AS dalam 5 DekadeFoto: CNNIndonesia/Basith Subastian
Infografis Partisipasi Pemilih dalam Pemilu AS dalam 5 Dekade

Trump vs Hillary

Sengketa hasil pilpres kembali terulang saat Pemilu 2016 antara Donald Trump melawan mantan ibu negara dan menlu, Hillary Clinton. Kala itu, kubu Trump menuduk perhitungan suara di daerah Clark, negara bagian Nevada membuka pemungutan suara melebihi waktu proporsional.

Trump menuduh bahwa lokasi pemungutan suara di lingkungan Hispanik di Las Vegas dibiarkan dibuka pada malam terakhir pemungutan suara.

Trump menyebutnya sebagai bukti dari "sistem yang curang" dan melayangkan gugatan di pengadilan negara bagian tersebut. Menurut kubu Trump, petugas pemungutan suara tetap membuka area pemilihan hingga pukul 22.00, yang seharusnya tutup pada pukul 19.00 malam.

Di bawah undang-undang Nevada, pemilih diperbolehkan memberikan suara selama mereka mengantre sesuai waktu yang dijadwalkan.

Tuduhan tersebut lantas ditepis oleh juru bicara daerah Clark, Dan Kulin. Dia mengatakan jika pada pukul 19.00 malam, masih ada antrean panjang.

"Para pemilih yang mengantre sesuai jadwal pada jam penutupan (tetap) diizinkan memberikan suara," ujarnya kepada NBC News.

Hal itu dibenarkan oleh salah seorang pemilih, Jose Macias (27). Dia mengatakan orang-orang harus menunggu hingga tiga jam untuk memberikan suara, sehingga mereka harus tetap berada dalam antrean.
 
Tapi kubu Trump sangat marah dan menuduh telah terjadi konspirasi antara pejabat lokal dan Demokrat. Hakim daerah Clark, Gloria Sturman lantas menolak gugatan tersebut.

"Saya tidak akan mengekspos orang-orang yang melakukan tugas sipil mereka untuk membantu pemilih. Saya tidak akan melakukannya," kata Sturman dalam sidang kala itu.

(ans/evn)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER