Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan memperpanjang masa jeda penyuntikan vaksinasi corona tahap pertama dan kedua, untuk memberikan kesempatan orang lain menerima vaksin.
Dilansir Reuters, Rabu (6/1), menurut mereka hal itu dilakukan untuk mengakali pasokan vaksin yang belum merata.
"Meski sampai saat ini kami belum berhasil memperoleh data tentang keamanan dan tingkat efektivitas vaksin setelah suntikan pertama hingga selang tiga sampai empat pekan, SAGE mengusulkan bagi negara-negara yang kesulitan mendapatkan vaksin ini untuk mengulur waktu penyuntikan kedua, supaya warga yang lain bisa menjalani vaksinasi pertama," kata Ketua Kelompok Pakar Penasihat Strategis untuk Imunisasi WHO (SAGE), Alejandro Cravioto, dalam jumpa pers di Jenewa, Swiss.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Cravioto, usulan menunda penyuntikan tahap kedua itu tidak wajib dilakukan karena harus melihat situasi yang dialami masing-masing negara.
Pakar Imunisasi WHO, Kate O'Brien, menyatakan tidak ada batasan waktu yang mengharuskan seseorang mendapatkan suntikan dosis kedua vaksin dalam rentang masa tertentu. Karena sampai saat ini proses distribusi vaksin belum merata dan beberapa negara bahkan terpaksa menunda proses vaksinasi.
"Tidak ada yang berpikir hal ini akan mudah dan kita sudah mulai melihat di mana saja hambatannya, dan kami perlu membuat perubahan," ujar Kate.
Selain itu, Cravioto menganjurkan masa jeda penyuntikan vaksinasi pertama dan kedua, bagi orang-orang yang menerima vaksin virus corona (Covid-19) buatan Pfizer-BioNTech, dilakukan dalam 21 sampai 28 hari.
Alasan WHO memberikan jeda waktu bagi penerima vaksin Pfizer-BioNTech selama 21 sampai 28 hari adalah untuk mengantisipasi penyebaran virus corona yang bermutasi.
"Kami menelaah dan merekomendasikan dua kali dosis penyuntikan (vaksin Pfizer-BioNTech) dilakukan antara 21 sampai 28 hari," kata Cravioto.
Dia menyatakan tidak menyarankan orang-orang yang harus bepergian di masa pandemi disuntik vaksin Pfizer-BioNTech, kecuali jika mereka tergolong dalam usia rentan dan tidak bisa mendapatkan obat pengurang gejala Covid-19.
(reuters/ayp)