Myanmar terus menjadi sorotan dunia internasional sejak kudeta militer yang berlangsung pada 1 Februari lalu.
Negara Barat beramai-ramai terus menekan junta militer Myanmar agar segera mengembalikan kekuasaan pemerintahan dan menghentikan kekerasan terhadap demonstran anti-kudeta dengan melontarkan kecaman hingga sanksi.
Sementara itu, Indonesia dan negara tetangga Myanmar lainnya di Asia Tenggara seakan tak banyak bicara menanggapi krisis politik yang terjadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dokumen diplomatik yang didapat Reuters memaparkan bahwa Indonesia tengah mencari dukungan negara ASEAN lain agar bisa mendorong Myanmar menggelar pemilihan umum baru.
Hal itu memicu kritik dari banyak pihak terutama warga Myanmar di media sosial karena Indonesia dinilai malah mendukung pemilu ulang yang selama ini diserukan junta militer. Berseberangan dengan keinginan rakyat Myanmar.
Langkah Indonesia dalam mengupayakan penyelesaian krisis di Myanmar memang terlihat pelan. Namun sikap itu seakan mencerminkan diplomasi sopan ala Indonesia.
Dosen Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah melihat Indonesia berupaya "menjaga perasaan" junta militer Myanmar agar tetap mau diajak berdialog dan sama-sama mencari solusi untuk krisis politik di negara itu.
Menurut dia, diplomasi Indonesia tidak bisa dibilang pasif. Rezasyah menganggap Indonesia justru cenderung menjadi pionir dalam menggerakkan negara ASEAN lainnya untuk merespons situasi di Myanmar.
"Sejauh ini bisa dilihat hanya Indonesia yang punya sikap dibandingkan negara ASEAN lainnya. Baru-baru ini, Malaysia dan Brunei baru ikut-ikutan menanggapi situasi di Myanmar. Indonesia bahkan segera menghubungi Brunei yang saat ini menjadi Ketua ASEAN tak lama setelah kudeta berlangsung," kata Rezasyah kepada CNNIndonesia.com pada Rabu (24/2).
Rezasyah juga menekankan diplomasi Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang tengah aktif berkonsultasi dengan menlu negara ASEAN lainnya terkait situasi Myanmar.
Sejak kudeta Myanmar berlangsung, Retno telah berkunjung ke sejumlah negara ASEAN seperti Brunei, Singapura, dan Thailand untuk salah satunya mengangkat isu kudeta Myanmar.
![]() |
Retno bahkan sempat mempertimbangkan mengunjungi Myanmar hari ini namun batal karena perkembangan situasi di Myanmar yang disebut Kemlu RI "bukan waktu yang tepat untuk melakukan kunjungan" ke Naypyidaw.
Rezasyah menganggap sikap tersebut menunjukkan diplomasi Indonesia sangat berhati-hati untuk bisa pada akhirnya memberikan kontribusi positif kepada Myanmar.
Ia menekankan melakukan konsultasi dan menyamakan perspektif dengan negara ASEAN lain memang bukan hal mudah dan cepat.
"Indonesia bukan lambat tetapi berhati-hati," kata Rezasyah. Kata-kata yang digunakan RI dalam setiap pembicaraan juga harus hati-hati sekali jangan sampai membuat Myanmar tersudut dan bisa melakukan tindakan yang mencengangkan seperti tak ingin berdialog dengan ASEAN lagi dan lainnya," kata Rezasyah.
"Tekanan yang terus-menerus dari Barat dan internasional hanya akan membuat Myanmar merasa semakin terpojok dan semakin mendekatkan negara itu dengan China. Kita (Indonesia) tidak mau itu terjadi," ujarnya.
Menurut Rezasyah, Myanmar memang salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki kedekatan dengan China. Selama ini, katanya, Myanmar juga telah cukup menggantungkan sejumlah kebijakannya kepada China.
Rezasyah mencontohkan selama ini Myanmar sangat mendengar masukan China dalam perumusan sejumlah kebijakan.
"Karena itu, saya yakin langkah Indonesia sangat terukur dan hati-hati untuk berkontribusi dalam membantu situasi di Myanmar ini. Indonesia mempertimbangkan juga kepekaan rezim militer Myanmar," kata Rezasyah.
Rezasyah berharap dengan "menjaga perasaan" Myanmar, junta militer mau lebih terbuka dengan RI dan ASEAN terutama dalam mendiskusikan jalan keluar terkait krisis politik ini.
"Dengan tekanan yang sangat keras dari internasional, rezim Myanmar diharapkan semakin melunak ke ASEAN sehingga mau berdialog dan mendengar rencana junta militer ke depan, terutama janjinya terkait pemilu," ucap Rezasyah.
Senada dengan Rezasyah, Indria Fernida dari Asia Justice and Rights (AJAR), juga mendorong peran Indonesia dalam membantu penyelesaian krisis politik di Myanmar.
Dalam diskusi Solidaritas Indonesia untuk Demokratisasi di Myanmar, Indria mengatakan Indonesia dan negara ASEAN lainnya harus turun tangan membantu pemulihan politik di Myanmar.
"Karena kudeta Myanmar itu bukan masalah domestik, ini sudah jadi masalah regional. Meski Indonesia telah menjadi pioner dalam membantu Myanmar, RI juga harus bisa menekan negara ASEAN lainnya untuk sama-sama membantu mencari solusi demokratis bagi Myanmar dan memberitahu junta militer bahwa pemerintahan militer bukan pemerintahan yang demokratis," katanya pada Selasa (23/2).
(rds/dea)