Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, blak-blakan bercerita terkait pengalaman kurang menyenangkan saat bertemu dengan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, di Ankara pada awal April lalu.
Von der Leyen mengaku sakit hati dan merasa terpinggirkan oleh perlakuan para petinggi negara yang saat itu hadir hanya karena dia seorang perempuan.
Saat itu, von der Leyen dan Presiden Dewan Eropa, Charles Michel, bertemu dengan Erdogan untuk membicarakan ketegangan hubungan antara Uni Eropa dan Turki.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat pertemuan berlangsung, von der Leyen terpaksa menjadi satu-satunya yang berdiri karena hanya ada dua kursi di depan bendera Uni Eropa dan Turki. Sementara itu, Erdogan dan Michel duduk bersebelahan yang diapit kedua bendera.
Melalui video dan foto yang beredar di media sosial, VonderLeyen terlihat memandangi kedua pemimpin tersebut dan mengekspresikan kekecewaannya dengan mengeluarkan suara "ehm."
Pada akhirnya, von der Leyen terlihat duduk di sofa besar sejajar dengan Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu. Dalam protokol diplomatik, tingkat jabatan von der Leyen setara dengan kepala negara.
"Saya perempuan pertama yang menjadi Presiden Komisi Eropa. Saya adalah Presiden Komisi Eropa dan perlakuan seperti inilah yang saya harapkan ketika mengunjungi Turki dua pekan lalu, seperti Presiden Komisi Eropa, tetapi saya tidak menerima perlakuan selayaknya," kata von der Leyen kepada anggota parlemen Uni Eropa, seperti dikutip Associated Press.
"Saya tidak dapat menemukan pembenaran untuk (bagaimana) saya diperlakukan dalam perjanjian Eropa. Jadi, saya harus menyimpulkan itu terjadi karena saya perempuan. Apakah ini akan terjadi jika saya mengenakan jas dan dasi?"
Von der Leyen memang tidak secara terbuka menyalahkan Erdogan dan Michel atas polemik tempat duduk tersebut. Namun, perempuan 62 tahun itu mengatakan ia tidak pernah mengalami kejadian serupa dalam pertemuan-pertemuan tinggi sebelumnya.
"Saya merasa sakit hati, dan saya merasa terpinggirkan, sebagai perempuan, sebagai orang Eropa. Karena ini bukan sekadar tentang pengaturan atau protokol tempat duduk," katanya.
"Ini menjadi inti dari siapa kita. Ini sejalan dengan nilai yang dianut serikat kami dan ini menunjukkan seberapa jauh kita harus melangkah sampai perempuan diperlakukan sama setiap saat dan di mana saja."
Kelalaian protokol diplomatik yang berlangsung di Istana Kepresidenan Turki itu memang memicu kritik terhadap Erdogan di media sosial. Turki dan Uni Eropa kemudian saling menyalahkan atas pengaturan protokol selama pertemuan tersebut.
Menlu Turki, Cavusoglu, menegaskan bahwa aturan duduk dalam pertemuan itu diterapkan berdasarkan permintaan pihak Uni Eropa. Sementara itu, delegasi Uni Eropa mengatakan akses masuk tim protokolnya ke ruang pertemuan itu ditolak.
Insiden itu juga sampai membuat Perdana Menteri Italia, Mario Draghi, menganggap Erdogan sebagai seorang diktator.
"Saya sangat menyesal atas penghinaan yang dialami oleh presiden komisi Eropa. Mari kita sebut mereka apa adanya, diktator, tetapi dengan siapa kita perlu bekerja sama," kata Draghi kepada wartawan 8 April lalu.
Sejumlah kelompok Parlemen Uni Eropa bahkan menuntut penyelidikan terkait alasan von der Leyen dibiarkan berdiri sementara Michel bisa duduk.
(rds/has)