Berdasarkan laporan UNDP, krisis ekonomi yang semakin parah dari pandemi dan kudeta yang dilakukan militer menghapus kemajuan yang telah dibuat Myanmar dalam mengurangi kemiskinan.
Dampak pandemi saja, lanjut UNDP akan meningkatkan tingkat kemiskinan Myanmar dari 24,8 persen menjadi 36,1 persen. Jika kudeta terus berlanjut tingkat kemiskinan akan melonjak hingga 48, 2 persen.
"Pada saat itu, guncangan dari krisis akan mengakibatkan hilangnya gaji dan pendapatan yang signifikan, terutama dari usaha kecil, dan penurunan akses ke makanan, layanan dasar dan perlindungan sosial," kata laporan itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemiskinan perkotaan diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat. Sebab, kota-kota yang paling terpukul oleh Covid-19 juga menjadi menjadi titik fokus tindakan keras militer untuk meredam pengunjuk rasa.
Menurut penelitian, wanita dan anak-anak akan menanggung beban terberat. Myanmar sudah memiliki tingkat kemiskinan anak yang tinggi dan krisis gabungan yang "menempatkan seluruh generasi dalam bahaya," kata Dana Anak-Anak PBB (UNICEF).
Meningkatnya kemiskinan, artinya, kecil kemungkinan anak-anak tetap bersekolah. Selain itu, hilangnya layanan utama dalam pendidikan dan perawatan kesehatan.
Laporan itu juga menyebutkan rumah tangga yang dipimpin perempuan lebih rentan. Karena, perempuan lebih mungkin dipekerjakan di berbagai sektor yang mudah terkena virus corona, seperti industri garmen. Sementara saat di rumah ia harus mengurus dan merawat anak-anaknya.
Kedua krisis tersebut terikat satu sama lain. Penggulingan pemerintah sipil telah memperkuat dampak virus corona. Menurut dokter di Myanmar, tes Covid-19 di negara itu telah gagal sejak kudeta.
Sementara itu, perebutan kekuasaan telah "menggagalkan" harapan untuk pemulihan pasca pandemi, kata laporan itu.
Kondisi keamanan yang memburuk menyebabkan gangguan lebih lanjut pada rantai pasokan yang sudah terganggu oleh Covid. Pelabuhan-pelabuhan utama lumpuh karena agen bea cukai, buruh pelabuhan, pengemudi truk, dan pekerja kereta api berhenti bekerja.
Beberapa perusahaan pengiriman untuk sementara menghentikan layanan ke Myanmar, sambung laporan itu. Sekitar 80 persen perdagangan Myanmar dilakukan melalui laut, dan UNDP memperkirakan perdagangan di pelabuhan turun hingga 64 persen dalam dua bulan setelah kudeta.
Gangguan serupa pada transportasi dan pergerakan tenaga kerja dan barang, industri pertanian serta tekanan pada mata uang negara, kyat.
"Di seluruh masyarakat Myanmar, ini merupakan kemunduran besar, tidak hanya dalam pembangunan tetapi juga dalam hal ketidaksetaraan dan kerentanan," kata Steiner.
"Orang akan berjuang untuk bertahan hidup."
Akibatnya, krisis kemanusiaan tengah berlangsung. Program Pangan Dunia (WFP) PBB pekan lalu memperingatkan bahwa "kelaparan dan keputusasaan" meningkat di Myanmar. Mereka juga memperkirakan, 3,4 juta orang akan menderita di seluruh negeri dalam enam bulan ke depan.
"Secara keseluruhan, Myanmar berada di ambang kehancuran ekonomi dan berisiko menjadi negara Asia gagal berikutnya," kata laporan UNDP.
Untuk mencapai kesimpulannya, UNDP menggunakan berbagai sumber, termasuk data yang dipublikasikan dari Bank Dunia, Brookings Institution, laporan dari badan-badan PBB lainnya, laporan media dan survei rumah tangga dari Myanmar.
Karena data real-time sulit diperoleh, UNDP mengatakan jika berbagai krisis Covid-19, hak asasi manusia, demokratisasi, dan keamanan meluas lebih jauh, perkiraannya mungkin lebih buruk dari yang diperkirakan - terutama untuk kelompok rentan seperti etnis minoritas dan pengungsi internal.
"Banyak hal akan tergantung pada apa yang terjadi di Myanmar selama dua bulan ke depan," ujar Steiner.
(isa/agn)