Militer Amerika Serikat mengaku telah membunuh 23 warga sipil di zona perang sepanjang tahun 2020.
Laporan Departemen Pertahanan AS menyebut puluhan korban sipil itu terbunuh dalam operasi militer di Irak, Afghanistan, Somalia, Yaman, dan Nigeria.
"Sekitar 23 warga sipil tewas dan sekitar 10 orang terluka selama tahun 2020 sebagai akibat dari operasi militer AS," tulis laporan tahunan Departemen Pertahanan AS yang dibacakan di Kongres tahunan, Rabu (2/6), mengutip AFP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagian besar korban sipil yang terbunuh berada di Afghanistan. Tercatat, ada satu warga sipil yang terbunuh di Somalia pada Februari 2020. Sementara korban lainnya di Irak.
Namun, dokumen yang dirilis ke publik itu tidak secara spesifik menyebut kapan atau di mana 23 korban terbunuh.
Kongres AS telah mengalokasikan dana sebesar US $3 juta atau sebesar Rp42 miliar untuk Pentagon di tahun 2020.
Anggaran itu disebut sebagai dana kompensasi untuk keluarga korban yang terdampak. Namun hingga kini belum ada kompensasi yang dibayarkan.
Namun demikian, menurut data Lembaga Swadaya Masyarakat, jumlah kematian versi militer disebut jauh di bawah angka yang dikumpulkan .
Data LSM menunjukkan korban tewas mencapai 120 orang di seluruh dunia. Angka itu jauh lebih besar daripada data milik militer AS.
Menurut salah satu LSM, Airwars, misi AS di Afghanistan (UNAMA) tercatat menyebabkan 89 orang tewas dan 31 luka-luka dalam operasi yang dipimpin pasukan koalisi AS.
Di Somalia, yang menurut AS hanya ada satu korban tewas, ternyata data dari Airways dan LSM lain menyebut total kematian ada 7 orang. Sementara di Suriah dan Irak, sumber lokal melaporkan ada 6 kematian.
"Itu jelas bahwa Departemen Investigasi Pertahanan AS dan pengakuan terhadap kerugian korban tetap tak cukup," kata koordinator Serikat Kebebasan Sipil Amerika Serikat (ACLU), Hina Shamsi.
"Sangat mengejutkan bahwa pada tahun 2020, Departemen Pertahanan tidak menawarkan atau melakukan perubahan pembayaran kepada warga sipil dan keluarga yang terkena dampak, meskipun ada ketersediaan dana dari Kongres," ujarnya.
(isa/dea)