Jalan Rapuh Koalisi PM Baru Israel dan Kebuntuan Palestina
Belum genap sepekan Naftali Bennett menjabat sebagai perdana menteri Israel, sejumlah pengamat sudah pesimistis akan kerapuhan koalisinya dan kebuntuan jalan damai dengan Palestina.
Kerapuhan ini sudah terlihat sejak awal pembentukan koalisi. Partai yang digawangi Bennett, Yamina, hanya memperoleh tujuh kursi di Knesset. Dengan demikian, ia menjadi satu-satunya PM Israel dengan faksi sesedikit itu.
Lebih jauh, partai pengusung koalisinya juga terdiri dari berbagai spektrum. Sejumlah pengamat menganggap keadaan ini bisa membuat koalisi lebih kuat, atau justru hancur karena terlalu banyak kepentingan.
Saat awal koalisi terbentuk, terdengar selentingan kemungkinan perubahan sikap Israel terhadap Palestina karena koalisi itu menggandeng partai Arab, Ra'am. Namun, anggapan itu langsung ditepis dengan berbagai alasan.
Sekjen Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), Fahmi Salsabila, juga mengaku kepada CNNIndonesia.com bahwa ia pesimistis akan pengaruh kehadiran partai Arab di pemerintahan Israel.
"Kita belum melihat eksistensi partai Arab Israel. Ya memang punya kepentingan dalam pembelaan bangsa Arab di Palestina, tapi sangat kecil sekali kalau mereka punya kiprah atau peran. Sekarang ini, (partai Raam) hanya dijadikan dukungan," ujar Fahmi.
Fahmi pun pesimistis pemerintahan Israel kali ini akan membawa perubahan terhadap perdamaian dengan Palestina.
"Pemerintahannya akan selalu sama, bahkan saya khawatir pemerintah baru Naftali Bennett ini akan lebih keras terhadap Palestina," ujar Fahmi.
Bennett memang dikenal sebagai penentang solusi dua negara dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina.
Bennett bahkan pernah mengatakan pembentukan negara Palestina merupakan tindakan bunuh diri bagi Israel. Ia beralasan hal itu terkait faktor keamanan warga Israel.
Pada 2013, Bennett juga pernah berpidato dan menyebutkan "warga Palestina yang merupakan teroris" harus dibunuh daripada dibebaskan.
Ketika menjabat sebagai menteri pertahanan Israel era Netanyahu, Bennett juga pernah menentang penghentian rencana aneksasi Tepi Barat, Palestina.
Melihat rekam jejak Bennet merespons isu Palestina, warga Palestina hampir tak punya harapan akan terobosan proses perdamaian kedua negara di era Bennet.
Menurut Fahmi, isu Palestina memang hanya menjadi komoditas menjelang pergelaran politik Israel, termasuk pertempuran 11 hari antara tentara dengan Hamas Mei lalu.
"Untuk menarik minat pemilih, misalnya, maka digempurlah Gaza. Semakin rakyat Palestina ditindas, semakin naik pamornya bagi pemimpin yang akan naik panggung. Saya melihatnya begitu," kata Fahmi.
Palestina sendiri tak antusias dengan pemerintahan baru Israel itu. Mereka kukuh dengan tuntutannya: Palestina merdeka dan menjadikan Yerusalem sebagai ibu kotanya.
"Itu merupakan urusan dalam negeri Israel. Posisi kami tetap sama. Yang kami mau adalah negara Palestina dengan perbatasan yang disepakati pada 1967 dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya," ujar Nabil Abu Rudeineh, juru bicara Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, seperti dikutip Reuters.
Senada dengan Rudeineh, juru bicara Hamas, Fawzi Barhoum, juga menyatakan bahwa pihaknya tak peduli atas perubahan pemerintahan di Israel.
"Mereka [Israel] masih merupakan kekuatan penjajahan dan pendudukan yang mesti kita lawan," ujar Barhoum.
Pendekatan Bennett untuk urusan Palestina memang dianggap masih akan sama dengan Netanyahu, bahkan lebih keras.
Dalam urusan politik, Bennett juga dianggap sebagai "anak didik" Netanyahu. Namun, partai Netanyahu, Likud, sejak dulu termasuk yang terkuat di Israel. Kini, Bennett mulai memimpin dengan koalisi yang rapuh.
Kesepakatan yang dijalin antara perdana menteri baru dengan pemimpin Koalisi Perubahan, Yaer Lapid, juga dinilai janggal. Pasalnya, setelah dua tahun, posisi perdana menteri akan diambil alih Lapid.
Artinya, lanjut Fahmi, jika ada pecah kongsi meski sedikit, itu menyalahi kesepakatan. Lalu koalisi itu akan pecah.
"Bisa saja ini koalisinya pecah lagi, akan ada perombakan lagi," kata Fahmi.