Taliban Ungkap Kemungkinan Struktur Pemerintahan, Mirip Dulu
Salah satu juru bicara Taliban, Wahedullah Hashimi, mengungkap kemungkinan struktur pemerintahan Afghanistan baru, yang dianggap mirip dengan saat kelompok itu memimpin pada 1996 hingga 2001.
Hashimi menjelaskan bahwa pemimpin Taliban saat berkuasa pada 1996 silam, Mullah Omar, akan tetap berperan di balik layar. Ia akan menyerahkan tugas-tugas kenegaraan ke dewan-dewan yang ditunjuk.
Menurut Hashimi, pemimpin Taliban, Haibatullah Akhundzada, diperkirakan akan memegang jabatan yang mengawasi dewan-dewan tersebut. Jabatan itu mirip dengan presiden.
Namun, jabatan presiden sendiri diperkirakan bakal dipegang oleh salah satu wakil Akhundzada dalam struktur kepemimpinan Taliban.
"Mungkin deputi (Akhundzada) akan berperan sebagai presiden," kata Hashimi dikutip Reuters, Rabu (18/8).
Dalam struktur saat ini, pemimpin Taliban memiliki tiga deputi, yaitu anak Mullah Omar, Mawlavi Yaqoob; pemimpin jaringan Haqqani, Sirajuddin Haqqani; dan kepala bidang politik, Abdul Ghani Baradar. Namun, belum diketahui yang bakal ditunjuk jadi presiden.
Kini, Taliban juga mengajak mantan pilot dan anggota militer Afghanistan untuk bergabung dengan pemerintahan mereka.
Para pemimpin Taliban diperkirakan akan menetapkan sistem pemerintahan baru pada akhir pekan ini. Meski sistem pemerintahan belum jelas, Hashimi menegaskan pihaknya tak akan menerapkan demokrasi.
"Tidak akan ada sistem demokrasi sama sekali karena tidak memiliki basis di negara kami," katanya.
Ia kemudian berkata, "Kami tidak akan membahas sistem politik seperti apa yang harus kami terapkan di Afghanistan karena sudah jelas. Ini adalah hukum syariah dan hanya itu."
Sebagaimana dilansir Reuters, struktur pemerintahan yang dipaparkan Hashimi mirip dengan saat Taliban berkuasa di Afghanistan pada 1996-2001.
Pada 1996, Taliban membentuk pemerintahan baru yang disebut Imarah Islam Afghanistan. Saat itu, Mullah Muhammad Omar menjadi pemimpin tertinggi, sementara jabatan Perdana Menteri dipegang Rabbani Akhund Rabbani.
Taliban mengambil keputusan berdasarkan dewan suku Pashtun. Namun saat Taliban menguat, segala keputusan ada di tangan Omar tanpa berkonsultasi dengan siapapun. Ia menjadi otoritas tertinggi kala itu.
Untuk para menteri dan kabinetnya diisi para ulama (mullah) dengan pendidikan madrasah. Beberapa dari mereka komandan militer yang siap siaga untuk tempur.
Seorang penulis bernama Ahmed Rashid dalam bukunya, Taliban Militant islam, Oil and Fundamentalism in Central Asia, menggambarkan Taliban sebagai kelompok rahasia yang misterius, tertutup, dan diktator.
Mereka tidak mengadakan pemilihan umum karena dianggap tak sesuai dengan syariat Islam. Dalam buku itu, Ahmed mengutip hasil wawancaranya dengan seorang juru bicara Taliban.
"Syariat tidak mungkin digunakan dalam politik atau partai politik. Itu sebabnya kami tidak memberikan gaji kepada pejabat, tentara. Hanya makanan, pakaian, sepatu dan senjata," kata jubir Taliban itu.
"Kami ingin menciptakan kembali masa Nabi dan kami hanya melaksanakan apa yang diinginkan rakyat Afghanistan selama 14 tahun terakhir."
Saat itu, Taliban bahkan membentuk Kementerian Amar Ma'ruf Nahi Munkar atau Kementerian Pemerintah Kebaikan dan Pencegah Kejahatan, untuk memastikan penerapan hukum Islam dalam masyarakat Afghanistan.
Mereka bekerja sama dengan pasukan keamanan untuk memastikan keberlangsungan syariat Islam di wilayah itu.
Meski demikian, setelah mengambil alih kekuasaan pada Minggu (15/8) lalu, Taliban mengklaim ingin membentuk pemerintahan yang lebih terbuka, moderat, menghargai hak asasi manusia, dan melibatkan perempuan.
Namun, warga Afghanistan masih menjalani keseharian dengan bayang-bayang trauma akan kekejaman Taliban saat berkuasa pada 1996 lalu.
Setelah Taliban mengambil alih kekuasaan, ruas-ruas jalan di Afghanistan nampak lengang dari lalu lalang perempuan. Mereka merasa tidak aman sehingga harus bersembunyi menghindari Taliban.
(isa/has)