Jakarta, CNN Indonesia --
Beberapa hari usai Taliban merebut Ibu Kota Kabul, Afghanistan, tidak ada lagi perempuan yang berani melenggang keluar rumah. Jika pun ada, hanya terlihat segelintir.
Para perempuan yang memiliki toko memilih menutup sementara usahanya. Saat berada di luar ruangan mereka juga sengaja mengenakan burkak agar tak menarik perhatian.
"Saya merasa seperti seorang tahanan. Saya tidak berani melangkah keluar dari rumah saya," kata seorang jurnalis perempuan di Afghanistan, dikutip Reuters, Jumat (20/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya tidak tahu apa yang akan dilakukan Taliban terhadap saya jika mereka mengenali saya sebagai jurnalis perempuan yang sudah membuat ratusan laporan mengungkap tindakan mereka terhadap rakyat Afghanistan," lanjutnya.
Sang jurnalis yang menyembunyikan identitasnya itu mengatakan sudah menutup akun media sosial miliknya. Dia juga menghapus data di komputer, menghancurkan foto-foto dirinya, dan menyembunyikan penghargaan yang diraih selama menjadi jurnalis.
Dia tidak mempercayai janji Taliban yang menyatakan membolehkan perempuan tetap bekerja atau berkegiatan di luar rumah.
"Taliban mengatakan perempuan bisa bekerja dengan mengenakan hijab Islami, tapi siapa yang tahu apakah mereka akan mengizinkan anak perempuan dan perempuan untuk belajar dan bekerja? Tidak ada jaminan mengingat catatan masa lalu mereka," tambahnya.
Taliban berkuasa di Afghanistan pada 1996 hingga 2001. Ketika itu, mereka menerapkan syariat Islam sesuai interpretasi ultra konservatif.
"Jika saya terpaksa tinggal di rumah, tidak diizinkan bekerja atau meninggikan suara, saya akan menganggap diri saya mati bahkan jika mereka tidak membunuh saya secara fisik," lanjut jurnalis perempuan itu.
Salah satu penata rambut yang bekerja di salon besar di Kabul mengatakan tak ada pegawai perempuan yang berani kembali bekerja setelah Taliban bercokol di kota itu.
"Setidaknya 24 keluarga mengandalkan penghasilan dari satu tempat ini. Saya kira itu hanya tinggal kenangan, sekarang," kata penata rambut itu.
"Tidak ada perempuan yang siap untuk kembali dan bekerja di sana karena takut Taliban," imbuhnya.
Perempuan di Afghanistan yang menjadi satu-satunya tulang punggung bagi keluarga sangat khawatir tentang nasib mereka jika dilarang bekerja oleh Taliban.
Seorang dokter gigi perempuan di Mazar-i-Sharif nekat kembali bekerja setelah mendengar pengumuman dari Taliban. Namun, dia masih dihinggapi rasa takut yang amat sangat sehingga hanya menerima pasien perempuan.
"Selama (beberapa) hari terakhir saya benar-benar khawatir, saya akan kehilangan pekerjaan dan tidak bisa memberi makan anak-anak saya," kata dokter yang juga ibu empat anak itu.
Tiga hari setelah Taliban menguasai Mazar-i-Sharif, dokter itu baru berani bepergian buat bekerja.
"Kota tampaknya berubah. Kami melihat lebih sedikit perempuan di jalanan dan pakaian yang mereka kenakan berbeda," ucapnya.
Kebanyakan perempuan, kata dokter itu, mengenakan pakaian gamis longgar disertai burkak.
"Sebelumnya perempuan akan mengenakan jeans dan mantel, tetapi saya tidak melihat tanda-tanda itu hari ini."
Ia mengatakan hanya guru dan dokter yang diizinkan kembali bekerja. Sementara pegawai pemerintah masih menunggu keputusan terbaru Taliban.
Meski guru perempuan masih diizinkan mengajar, Taliban menerapkan kebijakan baru dengan memisahkan murid dan guru berdasarkan jenis kelamin.
Salah satu guru geografi perempuan yang mengajar di sekolah khusus laki-laki, Hakima, mencemaskan nasib apakah dirinya masih memiliki pekerjaan menyusul adanya kebijakan Taliban.
"Saya tidak tahu apakah mereka akan memindahkan saya ke sekolah perempuan atau benar-benar menghentikan pekerjaan saya," kata Hakima yang menjadi tulang punggung keluarga.
Hakima mengaku tak punya penghasilan selain menjadi guru. Anak laki-lakinya masih terlalu kecil untuk mencari pekerjaan.
"Saya tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan untuk saya. Saya sungguh-sungguh khawatir," kata Hakima.
Hakima mengatakan putri sulungnya baru memperoleh gelar sarjana biologi dan jga bercita-cita menjadi guru.
"Tapi dengan kemunculan Taliban, untuk saat ini semua rencana terasa sia-sia," ujar Hakima.
Seorang aktivis hak-hak perempuan terkemuka yang menjalankan Organisasi Studi Perempuan dan Perdamaian di Kabul, Wazhma Frogh, mengatakan Taliban sejauh ini menahan diri karena dunia masih menyoroti situasi Afghanistan.
[Gambas:Photo CNN]
Frogh kini berada di tempat pengasingan lantaran kerap mendapat ancaman pembunuhan dari Taliban.
Meski demikian, menurut Frogh masyarakat Afghanistan banyak berubah dalam 20 tahun terakhir.
"Keluarga tak ingin anak perempuan mereka buta huruf lagi," kata Frogh.
"Gadis-gadis yang tumbuh dalam 20 tahun terakhir, mereka jauh lebih berani, mereka keluar dan mereka membela diri mereka sendiri," tambahnya.
Kaum perempuan Afghanistan perlahan berkembang sejak rezim Taliban runtuh pada 2001. Dengan terbukanya peluang pendidikan, maka semakin kaum wanita setempat banyak yang bekerja di sektor politik, media, peradilan dan TI, yang tadinya dominan laki-laki.
Terlepas dari kekhawatiran kemungkinan terburuk yang bakal dialami perempuan Afghanistan saat ini, Frogh mengatakan bakal sulit bagi Taliban buat menghalangi perempuan dari berkegiatan.
"Ada 18 juta perempuan. Anda (Taliban) tak bisa membuat mereka lenyap atau menghilang di balik pintu. Mereka tidak bisa membunuh semuanya," ujar Frogh.
[Gambas:Video CNN]