Taliban disebut selama ini ingin menerapkan mazhab fikih Islam aliran Hanafi sebagai patokan pemerintah Afghanistan.
Pernyataan itu diutarakan Direktur Jenderal Urusan Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI, Abdul Kadir Jailani, dalam webinar terkait masa depan perdamaian dan rekonsiliasi Afghanistan pada Jumat (3/9).
Kadir menuturkan selama ini keinginan Taliban menerapkan mazhab Hanafi dalam pilar negara menjadi salah satu batu ganjalan rekonsiliasi antara kelompok tersebut dan pemerintah Afghanistan yang digulingkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masalahnya selama ini bukan Taliban ingin membentuk negara Islam. Afghanistan dari dulu adalah negara Isla, syariat Islam berlaku sejak dulu di sana. Taliban hanya merasa tidak cukup dengan konstitusi dalam Republik Islam Afghanistan saat ini," kata Kadir dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Centre for Dialogue and Cooperation Among Civilisations (CDCC) itu.
"Taliban tidak mau hanya penerapan syariat Islam saja, tapi juga harus ada rujukan terkait Mazhab Hanafi sebagai patokan Mazhab negara," paparnya menambahkan.
Pernyataan itu diutarakan Kadir ketika Taliban dikabarkan akan mengumumkan pemerintahan baru Afghanistan dalam waktu dekat. Salah satu petinggi Taliban, Mullah Baradar, juga disebut-sebut akan menjadi pemimpin pemerintah Afghanistan.
Sejauh ini, belum jelas bagaimana bentuk pemerintah baru Afghanistan di era Taliban. Namun, sejak kembali berkuasa, beberapa petinggi Taliban mulai menyebut Afghanistan sebagai Emirat Islam Afghanistan.
Menurut Kadir, Taliban saat ini hendak melanjutkan cita-cita mereka tiga puluh tahun lalu untuk membentuk negara emirat di Afghanistan.
"Kita tidak tahu persis bagaimana yang dimaksud dengan negara emirat yang mereka usung, detailnya juga belum jelas. Taliban hanya mengatakan emirat tidak sama dengan Uni Emirat Arab (UEA), tapi kita belum tahu bagaimana sebenarnya ini," kata Kadir.
Kadir menuturkan masyarakat internasional, termasuk Indonesia, sepatutnya memberi kesempatan Taliban untuk membuktikan janji mereka membentuk pemerintahan yang inklusif dan terutama melindungi hak-hak perempuan.
Menurutnya, masyarakat internasional membutuhkan paramater yang jelas dan substantif agar dapat menilai apakah Taliban benar-benar menjalankan janjinya dan membentuk pemerintahan inklusif yang merangkul semua kelompok dan golongan di Afghanistan.
"Mungkin elemen pertama yang harus diperhatikan adalah apakah Taliban masih konsisten atas komitmennya melakukan rekonsiliasi nasional? Karena itu janji mereka. Sekarang mereka sudah menang, apakah masih mau berunding dan merangkul kelompok lain? atau merasa winner takes all?" ucap Kadir.
Lebih lanjut, Kadir menegaskan Indonesia akan terus menjaga hubungan dengan pihak Taliban demi membantu menjadikan Afghanistan negara yang damai, stabil, sejahtera rakyatnya.
Meski begitu, ia menuturkan Indonesia masih mau menunggu dan melihat sikap negara lain sebelum akhirnya memutuskan apakah akan mengakui Taliban sebagai pemerintah sah Afghanistan atau tidak.
"Pemerintah Indonesia secara optimal akan terus gunakan mesin diplomasi kami untuk melihat sikap negara lain, sejauh ini belum ada negara yang memutuskan sikap secara definitif (terkait pemerintah Afghanistan saat ini)," kata Kadir.