Di sisi lain, menyambut anak-anak kembali ke sekolah menjadi beban tersendiri bagi berbagai sekolah swasta yang mencakup 80 persen dari jumlah sekolah di Haiti.
"Kami memiliki siswa yang belum membayar uang sekolah untuk tahun ajaran 2017-2018," kata Maxime Eugene, seorang guru di SMA Mazenod.
Ia mengatakan pihaknya tidak bisa menyuruh para siswa pulang dan membuat siswa kehilangan satu tahun sekolah, lantaran belum membayar iuran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gempa menghancurkan setiap ruang kelas di sekolah Katolik terkenal di negara tersebut. Tentara membantu membersihkan puing-puing, tetapi pejabat sekolah masih menunggu bantuan lain untuk memulai tahun ajaran.
"Janji telah dibuat kepada kami tetapi belum ditepati," kata Eugene.
"Jika bangunan kami dapat selesai tepat waktu, kami bisa siap untuk memulai sekolah pada 4 Oktober karena kami berhasil menyelamatkan perabotannya," tambah Eugene.
Distrik L'Asile, yang berada di tengah pegunungan yang membentang di semenanjung selatan Haiti, termasuk wilayah yang terdampak paling buruk dari gempa 14 Agustus lalu.
"Bangunannya mungkin sudah siap, tetapi saya pribadi tidak tahu bagaimana saya akan kembali bekerja," kata Brenus Saint Jules, seorang kepala sekolah yang rumahnya hancur akibat gempa.
Sehari setelah gempa, seorang tetangga meminjamkannya celana. Ia menghabiskan 10 hari berikutnya tidur di belakang truk bersama istri dan dua anaknya. Ada pula empat orang lainnya yang juga kehilangan tempat tinggal.
Saint Jules yang telah mengajar lebih dari 30 tahun saat ini tidur dengan beralaskan logam. Ia mengaku stres, bahkan tidak bisa memikirkan tahun ajaran yang akan datang.
"Stres beberapa minggu terakhir membuat saya merasa 'sakit jiwa'. Saya menghabiskan waktu saya memikirkan bagaimana saya akan pulih," tuturnya.