Jakarta, CNN Indonesia --
Seniman mural sekaligus aktivis Afghanistan, Omaid Sharif, bertekad tetap bersuara melalui lukisan tangannya meski Taliban telah menghapus sebagian besar karyanya yang telah menghiasi sejumlah dinding di berbagai sudut Kota Kabul sejak tujuh tahun terakhir.
Tiga pekan setelah mengklaim berkuasa penuh atas Afghanistan, Taliban menghapus banyak mural di jalanan diganti dengan berbagai slogan-slogan propaganda mereka.
Foto-foto para petugas menutup mural-mural di dinding jalanan kota dengan cat putih menghancurkan hati Sharifi. Ia dan komunitas muralnya, ArtLords, telah menggambar lebih dari 2.200 karya mural di seluruh penjuru Afghanistan sejak 2014.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Gambaran yang muncul di benak saya adalah (Taliban) menempatkan kain kafan di atas kota," katanya kepada AFP, Senin (6/9).
Meski Taliban sudah menghapus karyanya, Sharfi memutuskan akan tetap melanjutkan kampanyenya.
"Kami tidak akan pernah diam," kata pria berusia 34 tahun itu.
"Kami akan memastikan dunia mendengar kami. Kami akan memastikan bahwa Taliban dipermalukan setiap hari," ucao Sharfi menegaskan.
Dari sekian banyak mural yang dihapus, ada satu mural yang menggambarkan utusan khusus AS, Zalmay Khalilzad, dan salah satu pendiri Taliban, Abdul Ghani Baradar, berjabat tangan usai menandatangani perjanjian penarikan pasukan dari Afghanistan pada 2020.
Sharifi mendirikan ArtLords pada tahun 2014. Ia menggunakan seni untuk mengkampanyekan perdamaian, keadilan sosial, dan akuntabilitas di negara itu.
Mereka kerap menggambar mural berisikan protes dan ejekan terhadap pemerintah termasuk jenderal militer Afghanistan dan pejabat pemerintah yang diduga korup.
Sharifi dan komunitasnya juga kerap menggambar mural untuk menghormati pahlawan Afghanistan, menyerukan dialog alih-alih kekerasan, dan menuntut hak-hak bagi perempuan.
Tindakan ArtLords kerap kali menimbulkan kecaman bahkan ancaman pembunuhan terhadap Sharifi dan rekan dalam komunitasnya itu.
Taliban bahkan melabeli karya Sharifi sebagai kafir. Namun Sharifi dan ArtLords tak jera dan mengabaikan ancaman-ancaman itu.
Di hari saat Taliban menduduki istana kepresidenan di Kabul, Sharifi dan lima kawannya membuat mural di luar gedung pemerintah.
Tak lama setelah itu, mereka menyaksikan orang berlarian dari kantor pemerintah. Para seniman jalanan itu juga memutuskan untuk kembali ke galeri ArtLords.
"Semua jalan diblokir," kata Sharifi.
"Tentara polisi datang dari semua sisi, mereka dan semua orang berlarian," paparnya menambahkan.
Sesampainya di galeri, para seniman ArtLords sadar bahwa Kabul sudah jatuh ke tangan Taliban.
Momen itu seperti memanggil kembali memori lama yang sudah disimpan rapat-rapat oleh Sharifi. Ia menjadi saksi kekejaman Taliban ketika pertama menguasai Afghanistan sekitar 1996-2001 lalu.
Saat itu, usia Sharifi masih 10 tahun. Tapi kejadian eksekusi Taliban di publik, larangan menonton hiburan, hingga kekangan lainnya terekam jelas pada benaknya.
"Ketika saya bersepeda untuk pergi ke pasar. (Saya) melihat banyak TV rusak, perekam kaset rusak dan semua kaset ini," jelasnya.
Tak ada media lokal yang bisa bersuara saat Taliban berkuasa, tak ada gambar manusia, tak ada gambar hewan.
Ia tak ingin lagi mengalami hal serupa. Sharifi, menjadi salah satu orang yang turut kabur dari Kabul saat situasi kacau-balau di kota itu. Ia takut hidup di bawah kendali Taliban.
"Ini (pergi) adalah pilihan yang sangat sulit, dan saya hanya berharap tak ada yang pernah mengalami apa yang kami alami," katanya.
"Afghanistan adalah rumah saya, itu identitas saya. Saya tak bisa mencabut semua akar saya, dan menanam diri saya di bagian dunia lain."
Saat ini, Sharifi tinggal di pengungsian khusus warga Afghanistan di Uni Emirat Arab.
Sharifi mengatakan berhasil membantu 54 seniman melarikan diri beserta keluarganya. Tetapi, lebih dari 100 seniman masih berada di negara ini.
"Mereka semua bersembunyi, semuanya ketakutan. Mereka hanya berusaha mencari cara untuk keluar dari Afghanistan," katanya
Sharifi bersumpah untuk terus berkampanye dan menciptakan seni untuk menyuarakan keresahannya.
Sharifi telah lama hidup dengan ancaman pembunuhan selama bertahun-tahun.
"Bagian yang menakutkan adalah saya tak akan punya suara. Yang benar-benar memaksa saya adalah saya ingin suara saya, saya ingin kebebasan berekspresi," ucap Sharifi.