Di hari saat Taliban menduduki istana kepresidenan di Kabul, Sharifi dan lima kawannya membuat mural di luar gedung pemerintah.
Tak lama setelah itu, mereka menyaksikan orang berlarian dari kantor pemerintah. Para seniman jalanan itu juga memutuskan untuk kembali ke galeri ArtLords.
"Semua jalan diblokir," kata Sharifi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tentara polisi datang dari semua sisi, mereka dan semua orang berlarian," paparnya menambahkan.
Sesampainya di galeri, para seniman ArtLords sadar bahwa Kabul sudah jatuh ke tangan Taliban.
Momen itu seperti memanggil kembali memori lama yang sudah disimpan rapat-rapat oleh Sharifi. Ia menjadi saksi kekejaman Taliban ketika pertama menguasai Afghanistan sekitar 1996-2001 lalu.
Saat itu, usia Sharifi masih 10 tahun. Tapi kejadian eksekusi Taliban di publik, larangan menonton hiburan, hingga kekangan lainnya terekam jelas pada benaknya.
"Ketika saya bersepeda untuk pergi ke pasar. (Saya) melihat banyak TV rusak, perekam kaset rusak dan semua kaset ini," jelasnya.
Tak ada media lokal yang bisa bersuara saat Taliban berkuasa, tak ada gambar manusia, tak ada gambar hewan.
Ia tak ingin lagi mengalami hal serupa. Sharifi, menjadi salah satu orang yang turut kabur dari Kabul saat situasi kacau-balau di kota itu. Ia takut hidup di bawah kendali Taliban.
"Ini (pergi) adalah pilihan yang sangat sulit, dan saya hanya berharap tak ada yang pernah mengalami apa yang kami alami," katanya.
"Afghanistan adalah rumah saya, itu identitas saya. Saya tak bisa mencabut semua akar saya, dan menanam diri saya di bagian dunia lain."
Saat ini, Sharifi tinggal di pengungsian khusus warga Afghanistan di Uni Emirat Arab.
Sharifi mengatakan berhasil membantu 54 seniman melarikan diri beserta keluarganya. Tetapi, lebih dari 100 seniman masih berada di negara ini.
"Mereka semua bersembunyi, semuanya ketakutan. Mereka hanya berusaha mencari cara untuk keluar dari Afghanistan," katanya
Sharifi bersumpah untuk terus berkampanye dan menciptakan seni untuk menyuarakan keresahannya.
Sharifi telah lama hidup dengan ancaman pembunuhan selama bertahun-tahun.
"Bagian yang menakutkan adalah saya tak akan punya suara. Yang benar-benar memaksa saya adalah saya ingin suara saya, saya ingin kebebasan berekspresi," ucap Sharifi.
(isa/rds)