Harga sewa rumah yang semakin meroket di Berlin, Jerman, menuai kontroversi. Penyebabnya, banyak generasi milenial di kota itu yang menilai harga rumah di sana mahal.
Salah satu penduduk, Regina Lehmann, pusing akibat naiknya biaya sewa rumah di kota itu. Pada 1 November, sewa bulanan rumah di kota itu mengalami kenaikan sebesar 12,34 euro atau setara Rp201 ribu) dari 623 euro (Rp10 juta).
Kenaikan harga sewa ini dinilai akan menyulitkan warga, mengingat 80 persen masyarakat Berlin menyewa tempat tinggal mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenaikan ini tak hanya berlaku pada Lehmann, tetapi 700 orang tetangga Lehmann juga akan mengalami kenaikan harga sewa hingga delapan persen, dikutip dari AFP.
Naiknya biaya sewa ini membuat penduduk Berlin melakukan referendum lokal pada 26 September. Juru kampanye berhasil mengumpulkan sebanyak 346.000 tanda tangan.
Kabarnya, referendum ini dilakukan untuk 'menyingkirkan' kepemilikan properti oleh perusahaan real-estate besar.
Juru kampanye juga menyalahkan perusahaan real estate besar, seperti Adler, yang memiliki 20 ribu properti di Berlin. Mereka menilai upaya Adler untuk menaikkan harga sewa di Berlin adalah sesuatu yang ilegal.
Menanggapi pernyataan ini, perusahaan properti menilai kenaikan harga ini dilakukan demi 'lingkungan yang lebih baik' yang memerlukan biaya yang lebih banyak.
Sementara itu, banyak warga Jerman yang mengalami kenaikan harga akibat keputusan pengadilan konstitusi Jerman. Keputusan ini membuat warga Berlin dihadapkan dengan pembatas sewa hunian.
"Kami harus memperjuangkan hak kami," kata Catia Santos, yang baru-baru ini menghadiri protes biaya sewa dengan pasangannya.
"Baru-baru ini (biaya) sewa saya naik 100 euro, meskipun gaji saya tidak lebih dari sebelumnya."
Sementara itu, referendum pengambilalihan paksa properti milik swasta menuai penolakan politikus nasional dan lokal yang lebih mendukung rencana mempercepat pembangunan rumah baru.