Sebelum Taliban berkuasa, stasiun radio Urooj di Afghanistan bebas menyiarkan berita hingga musik setiap harinya. Namun kini, pendiri Urooj, Ebrahim Parhar, mengaku sedih karena hanya dapat menyiarkan khotbah religi.
"Sayangnya, sekarang hanya ada satu program, yaitu religi," ujar pendiri Urooj, Ebrahim Parhar, saat bercerita kepada AFP.
Parhar bercerita bahwa enam tahun lalu, ia mendirikan Urooj dengan banyak harapan. Nama Urooj sendiri berarti "Kebangkitan" dalam bahasa Pashto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami punya program religi, politik, sosial, sampai musik," tuturParhar.
Kini, Parhar mengaku hampa karena tak ada lagi ragam program yang dapat mereka putar kecuali religi.
"Kami menyiapkan satu daftar putar di pagi hari, kemudian mengulanginya sepanjang hari karena tidak ada siaran langsung," ucapnya.
Parhar lantas bercerita bahwa Urooj juga terpaksa membatalkan semua kontrak iklan karena tak bisa memutarnya. Karena tak ada pemasukan, Parhar terpaksa memecat 18 karyawannya, termasuk delapan perempuan.
"Jika situasi ini terus berlanjut, sangat mungkin kami harus menutup stasiun radio ini," kata Parhar.
Kepahitan pun tak hanya dirasakan Parhar, tapi juga Marya Sultani, mantan pembaca berita di Urooj. Kedatangan Taliban membuat mimpinya untuk menjadi jurnalis terkenal di Provinsi Farah terpaksa pupus.
"Mimpi itu sudah menjadi kenyataan. Saya menjadi jurnalis, tapi dengan kembalinya [Taliban], semua harus berakhir," tutur perempuan berusia 25 tahun itu.
Sampai kini, Sultani masih sering datang ke kantor Urooj, hanya untuk melihat temannya bekerja di balik pengeras suara, hal yang dulu juga sangat ia nikmati.
Setelah lima tahun bekerja di Urooj, Sultani kini "menjadi pengangguran dan hanya bisa duduk di rumah."
Sultani pun harus hidup dalam ketakutan. Ia takut Taliban datang ke rumahnya hanya karena ia pernah menjadi seorang jurnalis.
"Saya takut seseorang akan melukai saya," katanya.
Baca cerita soal nasib jurnalis dan ancaman mati yang diterima Parhar di halaman selanjutnya >>>