Ketakutan Sultani bukan tanpa alasan. Saat Taliban pertama kali berkuasa pada 1996-2001, mereka memimpin dengan tangan besi, berdasarkan syariat Islam yang sangat konservatif.
Ketika mengambil alih kekuasaan pada pertengahan Agustus lalu, Taliban memang berjanji bakal lebih inklusif, menghormati perempuan, dan menjunjung kebebasan pers.
Namun, sejumlah kelompok pemantau hak asasi manusia dan kebebasan pers melaporkan bahwa Taliban kini menerapkan sejumlah aturan baru yang mengekang jurnalis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aturan-aturan itu mencakup larangan merilis laporan "yang bertentangan dengan Islam, mencoreng nama baik tokoh publik" atau menyiarkan "sesuatu yang belum dikonfirmasi pejabat."
Komite Keamanan Jurnalis Afghanistan (AJSC) melaporkan bahwa kini lebih dari 70 media di Afghanistan terpaksa tutup karena aturan-aturan tersebut.
Di saat bersamaan, sejumlah besar jurnalis sudah kabur ke luar negeri atau bersembunyi. Alhasil, dunia media di Afghanistan kini berada di titik terendah dalam dua dekade belakangan.
Mereka yang sempat memberanikan diri bekerja kini sudah ditahan. Beberapa yang meliput demonstrasi anti-Taliban bahkan babak belur akibat dipukuli.
Parhar pun mengaku khawatir akan keamanan dirinya sendiri dan semua karyawannya.
"Saya khawatir karena beberapa karyawan saya sudah diancam sebelumnya. Saya sendiri sudah menjadi target dua kali," tutur Parhar.
Ia bercerita, selama beberapa bulan belakangan anggota Taliban sudah melakukan beberapa penangkapan dan pembunuhan tokoh publik, termasuk jurnalis.
Menurut Parhar, sejumlah anggota Taliban sudah mengirimkan beberapa surat yang berisi peringatan bahwa ia bisa jadi target selanjutnya.
"Saya merasa tidak aman sekarang," katanya.
(has)