Ketika pandemi berlangsung, intoleransi terhadap pengaruh dan budaya luar pun semakin menjadi.
Pada Juni lalu, hampir 200 intelektual China yang berpartisipasi dalam program pertukaran yang disponsori pemerintah Jepang diserang di media sosial Negeri Tirai Bambu dan dicap sebagai "pengkhianat". Padahal, pertukaran itu berlangsung bertahun-tahun yang lalu.
Pada Juli, jurnalis dari beberapa media asing yang meliput banjir mematikan di China utara dilecehkan secara online dan di tempat kejadian oleh penduduk setempat. Wartawan dari BBC dan Los Angeles Times bahkan menerima ancaman pembunuhan, menurut Foreign Correspondents' Club of China.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada Agustus, seorang ahli penyakit menular China disebut sebagai "pengkhianat" yang "secara membabi buta memuja ide-ide Barat" karena menyarankan China untuk belajar hidup berdampingan dengan Covid dan tak lagi mengandalkan strategi kasus nol covid-19.
Beberapa bahkan menuduhnya berkolusi dengan pasukan asing untuk menyabotase respons pandemi China.
Pakar Studi China di University of California Victor Shih menganggap pemerintah China saat ini memandang wartawan Barat, pekerja lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi yang ingin datang ke China sebagai sumber pengaruh yang tak diinginkan.
Pandemi Covid-19 kemudian memperlancar upaya pemerintah China untuk mencegah pengaruh Barat masuk ke negaranya. Sejak pandemi, sebagian besar akademisi dan pekerja LSM telah berhenti pergi ke China akibat pembatasan dan persyaratan karantina, kata Shih.
"Filter berat yang diterapkan saat ini, dan telah diterapkan sebelum pandemi dimulai, akan menolong penyaringan terhadap apa yang dilihat oleh pemimpin China sebagai elemen yang masuk ke negeri itu dan 'mengotori' nilai masyarakat China," tambahnya.
Walaupun penutupan yang dilakukan pemerintah China dapat menyaring dan menghalau nilai Barat, Shih menilai itu tak akan cukup untuk menghilangkan 'pengaruh asing,' mengingat China juga harus melakukan kontak dengan dunia luar.