ANALISIS

ASEAN dan AUKUS vs China, RI Bak Menunggang Kuda Tua

Hanna Azarya Samosir | CNN Indonesia
Rabu, 24 Nov 2021 08:17 WIB
Di tengah kisruh AUKUS, kekuatan ASEAN yang tercerai berai dipertanyakan. Namun, sejumlah pihak menganggap RI masih harus menunggangi ASEAN jadi kuda diplomasi.
Ilustrasi pertemuan ASEAN-China. (AFP/Hakim S. Hayat)

Aleksius tak memungkiri bahwa arus pragmatisme di negara-negara anggota ASEAN saat ini memang besar, terutama karena dalam masa pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19.

Namun, ASEAN tetap menjadi senjata pamungkas negara kawasan untuk menghadapi raksasa dunia secara kolektif. Menurutnya, Indonesia tak bisa bergerak sendiri, mengingat isu ini memang berpengaruh pada stabilitas kawasan.

"Arus pragmatisme itu besar sekali karena semua negara sekarang fokus pada recover pandemi. Pemulihan pandemi bergantung pada negara besar; kepada China sudah bukan rahasia lagi, kepada AS, Jepang. Jadi, kalau ada semacam reluctant, itu bisa dimengerti," ucap Aleksius kepada CNNIndonesia.com.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia kemudian berkata, "Namun, jangan sampai negara-negara ASEAN membuat ASEAN itu sendiri tidak relevan. Mereka punya senjata apa untuk menghadapi negara-negara besar secara kolektif? Kalau mereka kehilangan itu, mereka kehilangan semuanya."

Secara khusus untuk Indonesia, Aleksius menganggap kehadiran ASEAN penting. Pasalnya, Indonesia punya kepentingan untuk menghadirkan keseimbangan kekuatan negara-negara besar, seperti China dan AS, agar tak ada yang lebih dominan di kawasan.

"Keunggulan ASEAN itu meski negara kecil menengah, mereka bisa mengundang negara-negara besar itu untuk duduk bersama untuk mengatasi ini, bukan mengandalkan kekuatan militer karena kalau menggunakan kekuatan militer bisa terjadi hal yang di luar dugaan," katanya.

Aleksius lantas menjabarkan berbagai forum ASEAN dan mitra-mitranya, seperti ASEAN+China, ASEAN+Amerika Serikat, hingga ASEAN+Rusia.

Belakangan, Indonesia juga membentuk Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) yang beranggotakan 6 dari 10 negara ASEAN ditambah Australia, China, dan Selandia Baru.

"Ada tantangan di antara negara ASEAN sendiri beda pandangan, tapi mekanisme KTT yang diadakan secara reguler tetap ada. Indonesia adalah negara pendiri ASEAN, pemimpin informal ASEAN. Memang diplomasi kita harus lebih aktif, memberikan posisi yang proporsional bagi ASEAN untuk stabilitas kawasan," tuturnya.

Salah satu cara untuk menunjukkan sentralitas ASEAN menurut Aleksius adalah dengan mengeluarkan komunike atau pernyataan bersama mengenai AUKUS.

"Di dalam komunike itu jangan sampai menyebut nama, tapi diskursus seperti stabilitas regional, pembangunan inklusif, terbuka, transparan, menghormati hukum laut internasional. Itu adalah diksi-diksi yang harus disuarakan oleh ASEAN demi kepentingan bersama, tanpa menyebut China, Australia, Amerika," katanya.

"Pernyataan normatif general tetap diperlukan supaya ASEAN tetap dirasakan kehadirannya. Kalau mereka pun tidak bisa menghasilkan yang minimal seperti itu, mereka akan kehilangan perannya, jadi tidak relevan dan itu tidak boleh terjadi."

Aleksius beranggapan, Indonesia harus mengambil peran agar ASEAN tak kehilangan rohnya sebagai entitas penting di kawasan Asia Tenggara.

"Kamu enggak berperan juga nanti kamu jadi objek rebutan orang. Ya harus aktif. Aktif menentukan Anda sendiri, siapa Anda, Apa kepentingan Anda, dan bagaimana Anda merespons situasi di sekeliling. Anda Jangan diam," ucapnya.

"ASEAN masih menjadi platform yang penting meskipun tidak optimal, tapi kalau kamu kehilangan itu, you lose everything. Tidak optimal, ya betul, tapi kita tidak mau kehilangan itu karena itu platform penting."

(has/bac)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER